Di era ketika kopi sachet menjadi andalan banyak orang, tinggal gunting dan seduh, saya justru punya kisah lain. Kisah yang lahir bukan dari kebiasaan menenggak kopi, karena saya sendiri bukan peminum kopi.Â
Bagi saya, minum kopi justru memicu serangan panik, jantung berdebar, dan gangguan tidur. Namun anehnya, justru dari kopi inilah keluarga saya pernah menaruh mimpi besar.
Ya, keluarga kami pernah mencoba merintis usaha kopi lokal sendiri, kami menamainya Waglo.
Dari Kebun Keluarga ke Kemasan Kopi
Ceritanya bermula dari sebuah kebun kopi di kampung halaman saya, Kecamatan Cisalak, Subang, Jawa Barat. Daerah itu dikelilingi perbukitan hijau, udara sejuk, dan berada di kaki Gunung Tangkuban Perahu serta Bukittunggul. Di tanah inilah biji-biji kopi tumbuh, dirawat oleh tangan-tangan petani kecil.
Keluarga saya, meski tidak sepenuhnya berprofesi sebagai petani kopi, pernah mencoba mengolah hasil bumi itu. Dari kebun sendiri, biji kopi dipetik, dijemur, disangrai, lalu digiling. Awalnya hanya untuk konsumsi keluarga, tapi kemudian muncul gagasan: bagaimana kalau kopi ini dijadikan usaha?
Begitulah lahir Waglo Coffee. Nama ini kami sematkan pada kemasan sederhana tapi penuh semangat. Ada varian unik seperti Kopi Tafakur dan Kopi Jum'at. Filosofi di balik nama itu sederhana: kami ingin kopi ini bukan sekadar minuman, tapi juga mengingatkan orang pada do'a, tafakur, dan kebersamaan.
Kopi vs Wahana
Untuk memasarkan Waglo, keluarga kami bahkan sempat membuat sebuah wahana kecil-kecilan. Tempat permainan sederhana, semacam ruang rekreasi keluarga, di sini kopi Waglo bisa dinikmati pengunjung sambil anak-anak bermain. Bukan kafe modern dengan kursi empuk dan live music, melainkan suasana kampung yang apa adanya.