Di masa kecil saya, meja makan keluarga tak pernah sepi dari hasil bumi sendiri. Ikan segar dari kolam, sayuran hijau dari kebun, hingga talas lompong yang tumbuh subur di pematang sawah.Â
Bagi kami lompong yang direbus dengan santan: kuahnya gurih, batang mudanya lembut, dan aromanya menyebar ke seluruh rumah.
Meski saat itu masih kental sekat pembeda antara makanan, seperti untuk lompong dan sejenisnya.Â
Stigma makan rebung disamakan dengan makan tangga, karena bambunya digunakan sebagai bahan membuat tangga. Makan jantung pisang identik dengan makanan zaman penjajahan Jepang, yang kala itu sangat susah menemukan sumber makanan.
Begitu pula halnya dengan lompong dan kulit singkong, semua dianggap makanan yang biasa dikonsumsi ternak.
Sementara bagi saya itu semua adalah hidangan lezat penuh kenangan, hasil tangan ibu yang piawai mengolah apa yang tersedia di sekitar.
Kenangan Pangan Desa
Hidup di desa berarti hidup dalam keterhubungan erat dengan tanah. Sawah, kebun, dan kolam adalah sumber kehidupan sehari-hari. Talas lompong tumbuh ditanam di pematang, daunnya besar hijau muda, batangnya gemuk.Â
Saat masih muda sebagian batangnya dipetik untuk menjaga kelangsungan hidup tanaman, diolah dengan hati-hati agar getahnya tak menimbulkan gatal, lalu dimasak dalam santan bersama cabai dan rempah. Rasanya gurih sekaligus segar, menghadirkan aroma membumi.
Selain lompong, ada pula rebung tunas muda bambu yang renyah setelah direbus; jantung pisang yang lembut ketika diolah menjadi gulai atau urap; dan kulit singkong yang kerap dijadikan lauk, berbalut parutan kelapa berbumbu.