Mohon tunggu...
Agustine Ranterapa
Agustine Ranterapa Mohon Tunggu... Guru

Aku seorang Guru SD. Tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku. Aku tidak pernah berjalan diatas air dan aku juga tidak mampu membela lautan. Tetapi yang aku tahu, aku adalah seorang pemimpin pembelajaran yang mencintai anak-anak didikku. Karena menurutku seni tertinggi seorang guru adalah bagaimana ia menciptkan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan". Alhamdulillaah ditakdirkan menjadi seorang guru.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Air Mata Bukan Kelemahan: Membentuk Resiliensi Anak di Tengah Tantangan Zaman

2 Oktober 2025   12:24 Diperbarui: 2 Oktober 2025   12:24 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Dokumentasi Pribadi (TK Permata Bunda Desa Pelalan Kec. Lamasi Timur)

(Refleksi Ilmiah-Islami tentang Parenting dan Resiliensi Anak di Era Modern)

Banyak orang tua keliru menilai supresi emosi sebagai indikator kekuatan; anak yang menangis dianggap tidak kompeten menghadapi kerasnya hidup. Sebaliknya, anak yang mudah menangis sering diberi label "cengeng," lemah, atau tidak siap menghadapi kerasnya hidup. Padahal, tangisan adalah bahasa alami seorang anak untuk mengekspresikan emosi, rasa sakit, kekecewaan, atau bahkan ketidaknyamanan. Menangis bukan kelemahan, melainkan mekanisme regulasi emosi yang sehat. Riset terbaru dari American Psychological Association (APA, 2024) menegaskan bahwa anak-anak yang diberi kesempatan mengekspresikan emosi, termasuk lewat tangisan, tumbuh dengan tingkat resilience (daya lenting) yang lebih baik. Mereka lebih mampu menghadapi tekanan akademik, konflik sosial, dan transisi kehidupan dibanding anak yang ditekan untuk selalu terlihat kuat. Dengan kata lain, anak kuat bukanlah yang tidak menangis, melainkan yang tahu bagaimana bangkit setelah menangis. Di Indonesia sendiri, masih banyak budaya yang menormalisasi narasi "anak laki-laki jangan menangis" atau "anak perempuan harus tabah." Narasi ini sekilas tampak sebagai pendidikan keteguhan, tetapi sebenarnya bisa menumpulkan kecerdasan emosional. Di sinilah pentingnya menata ulang cara pandang kita terhadap tangisan anak.

Tangisan adalah pintu pertama anak mengenal emosinya. Saat bayi, tangisan adalah satu-satunya cara berkomunikasi. Saat anak bertumbuh, tangisan tetap menjadi medium penting untuk melepaskan tekanan batin. Menurut penelitian University of Cambridge (2025), anak-anak yang dibiarkan menangis dalam konteks aman (bukan diabaikan, tetapi didampingi) mampu membangun self-regulation lebih cepat. Mereka belajar bahwa emosi boleh hadir, namun bisa dikelola dan dilepaskan. Anak yang dipaksa menahan tangis justru berisiko lebih tinggi mengalami gangguan kecemasan atau depresi di kemudian hari. Dengan menangis, anak tidak hanya meluapkan kesedihan, tetapi juga belajar menerima kenyataan bahwa hidup tidak selalu sesuai keinginan. Setelah air mata reda, ada ruang untuk bangkit kembali. Proses sederhana ini adalah latihan kecil untuk menghadapi realitas kehidupan yang jauh lebih besar.

Banyak orang salah kaprah dengan mengira bahwa anak kuat adalah anak yang tidak pernah jatuh. Padahal, kekuatan sejati justru terletak pada kemampuan untuk bangkit setelah jatuh. Seorang anak yang tidak pernah diberi kesempatan menghadapi kegagalan kecil akan kesulitan menghadapi dunia nyata yang keras. Dunia penuh dengan ujian: nilai jelek di sekolah, konflik pertemanan, kegagalan masuk universitas, hingga penolakan dalam pekerjaan. Jika anak tidak pernah ditempa sejak kecil untuk menghadapi kegagalan, sedikit saja hambatan bisa membuatnya runtuh. Psikolog anak Martin Seligman (2024) menyebut konsep ini sebagai learned optimism. Anak yang terbiasa gagal dan bangkit akan memandang kegagalan sebagai bagian dari proses, bukan akhir dari segalanya. Sebaliknya, anak yang jarang gagal akan menganggap satu kegagalan kecil sebagai bencana besar.

Menangis adalah cara anak belajar mengelola emosi. Air mata mengajarkan bahwa rasa marah, kecewa, atau takut adalah bagian dari pengalaman manusia yang sah. Anak yang terbiasa mengekspresikan emosinya secara sehat akan tumbuh dengan kecerdasan emosional (emotional intelligence) yang matang. Jika anak selalu ditekan untuk tidak menangis, mereka justru akan belajar menyembunyikan perasaan. Konsekuensinya, saat dewasa, mereka cenderung sulit mengelola stres, mudah meledak, atau justru terlalu lama memendam sakit hati. Riset dari UNICEF (2024) di Asia Tenggara menunjukkan bahwa anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang "emosinya ditekan" memiliki tingkat burnout remaja lebih tinggi dibanding anak yang dibesarkan dalam keluarga yang terbuka terhadap ekspresi emosi. Dalam Islam, Rasulullah SAW mengajarkan bahwa menangis adalah fitrah manusiawi yang penuh hikmah. Beliau sendiri menangis saat kehilangan putranya, Ibrahim, seraya bersabda: "Air mata ini menetes, hati ini bersedih, namun kami tidak mengucapkan kecuali apa yang diridhai Allah." (HR. Bukhari). Tangisan, dalam perspektif Islami, bukan kelemahan, melainkan bentuk kasih sayang dan empati yang Allah tanamkan dalam hati manusia.

Setiap kali anak bangkit setelah menangis, ia sebenarnya sedang menanamkan keyakinan bahwa kegagalan hanyalah sementara. Anak belajar bahwa kesalahan bukanlah akhir, melainkan undangan untuk mencoba lagi dengan cara berbeda. Contoh nyata bisa kita lihat dari kisah Thomas Edison, yang gagal ribuan kali sebelum menemukan bola lampu. Atau dari kisah anak-anak Indonesia yang berprestasi meski berasal dari keluarga sederhana. Salah satunya adalah Iqbal Aji Daryono, seorang penulis yang masa kecilnya penuh keterbatasan ekonomi, tetapi justru dari kegagalan dan keterbatasan itu ia menemukan keberanian untuk terus mencoba dan berkarya. Dalam konteks parenting, membiarkan anak mencoba lagi setelah gagal adalah bentuk kasih sayang yang mendewasakan. Anak belajar mengambil keputusan, menerima konsekuensi, lalu berani memperbaiki diri. Dari sinilah lahir pribadi yang mandiri dan berani menghadapi dunia.

Bangkit setelah menangis bukan sekadar soal keberanian, tetapi juga soal harapan. Anak belajar bahwa meski hari ini gagal, selalu ada esok yang bisa diisi dengan usaha baru. Psikolog eksistensialis Viktor Frankl pernah menulis dalam Man's Search for Meaning, bahwa manusia bisa bertahan dalam penderitaan selama ia memiliki makna dan harapan. Bagi anak, pengalaman bangkit setelah jatuh adalah fondasi harapan itu sendiri. Mereka belajar bahwa setiap air mata akan reda, dan setiap luka bisa sembuh. Di sinilah orang tua berperan penting: bukan untuk menghapus semua luka anak, tetapi untuk menemani mereka belajar bahwa luka bisa disembuhkan. Harapan yang lahir dari proses ini akan membuat anak tumbuh menjadi pribadi optimis dan resilien.

Fenomena "bubble parenting" atau overprotective parenting semakin meningkat di era digital. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA, 2025) menunjukkan bahwa 42% anak Indonesia di bawah usia 12 tahun merasa tidak percaya diri mengambil keputusan sendiri, karena sejak kecil dibiasakan bergantung pada orang tua. Kasus nyata datang dari seorang remaja di Jakarta (2024), yang sejak kecil selalu dijauhkan dari kegagalan oleh orang tuanya. Nilainya diatur, lomba selalu diarahkan, bahkan pertemanan dikendalikan. Hasilnya, saat ia gagal masuk universitas impiannya, ia mengalami depresi berat karena tidak terbiasa menghadapi penolakan. Ini adalah contoh bagaimana perlindungan berlebihan justru bisa melumpuhkan resiliensi anak.

Sumber Data BPS
Sumber Data BPS

Menurut BPS (2025), tingkat resilience anak Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara tetangga. Hanya 38% anak usia 10-17 tahun yang dilaporkan mampu mengelola stres dan bangkit dari kegagalan dengan sehat. Sementara itu, UNESCO (2024) mencatat bahwa pola asuh overprotective menjadi salah satu faktor penyumbang rendahnya kemampuan anak dalam menghadapi kegagalan. Sebaliknya, anak-anak yang diberi kesempatan menghadapi tantangan sejak kecil cenderung lebih adaptif dan percaya diri. Pola asuh yang seimbang antara kasih sayang dan kesempatan menghadapi kesulitan mampu menghasilkan generasi yang lebih resilien.

Islam mengajarkan bahwa anak adalah amanah, bukan untuk dimanja berlebihan, tetapi juga bukan untuk ditekan hingga kehilangan fitrahnya. Rasulullah SAW bersabda: "Tidaklah seorang ayah memberikan pemberian yang lebih utama kepada anaknya daripada akhlak yang baik." (HR. Tirmidzi). Akhlak baik tidak lahir dari kenyamanan, melainkan dari pengalaman menghadapi kesulitan. Orang tua perlu menanamkan sabar dan ikhlas pada anak, bukan dengan menyingkirkan semua tantangan, tetapi dengan mendampingi mereka melewati tantangan itu. Dalam Al-Qur'an, Allah menegaskan: "Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan." (QS. Al-Insyirah: 6). Ayat ini mengajarkan bahwa kesulitan adalah bagian dari proses mendidik manusia menjadi lebih kuat. Anak yang tidak pernah menghadapi kesulitan akan kehilangan kesempatan emas untuk merasakan kemudahan yang Allah janjikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun