Mohon tunggu...
Agustine Ranterapa
Agustine Ranterapa Mohon Tunggu... Guru

Aku seorang Guru SD. Tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku. Aku tidak pernah berjalan diatas air dan aku juga tidak mampu membela lautan. Tetapi yang aku tahu, aku adalah seorang pemimpin pembelajaran yang mencintai anak-anak didikku. Karena menurutku seni tertinggi seorang guru adalah bagaimana ia menciptkan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan". Alhamdulillaah ditakdirkan menjadi seorang guru.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ruang Rindu Edelweys: Merajut Harapan Dari Titik Nol

30 September 2025   03:03 Diperbarui: 30 September 2025   05:03 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber lantern of Heart 

#Kontemplasi 

Ini adalah jam tiga pagi. Di luar, sunyi. Hanya suara jangkrik yang menemani. Seharusnya aku sudah tertidur pulas sejak berjam-jam yang lalu, membiarkan tubuh dan pikiran beristirahat dari lelahnya hari. Namun, mataku menolak terpejam. Segala kegelisahan dan kekecewaan yang kupendam seharian, bahkan berminggu-minggu, seolah mendapat ruang yang lebih luas di tengah kegelapan malam.

Realitas yang kuhadapi sekarang terasa sangat berat. Rasanya seperti ada tangan yang menjulur dari dalam diriku, meremas jantungku hingga sesak. Realitas yang sangat tidak kuharapkan ini datang begitu saja, tanpa permisi, mengacak-acak seluruh rencana dan harapan yang telah susah payah kubangun. Dinding-dinding optimisme yang dulu kokoh kini terasa rapuh, nyaris runtuh. Aku merasa sangat sumpek, seolah-olah seluruh udara di sekitarku terhisap habis, meninggalkan ruang kosong yang hampa. Ada sebuah kepahitan yang menelusup, membuatku ingin berteriak, ingin melampiaskan segalanya. Namun, aku tak bisa. Ada sebuah kebisuan yang membelenggu.

Dalam kebisuan inilah, aku mulai belajar. Belajar diam dari banyaknya berbicara. Dulu, aku seringkali merasa perlu menjelaskan segalanya, membenarkan diri, atau mengomentari setiap hal yang tidak sesuai dengan keinginanku. Mulutku ringan untuk mengeluarkan keluhan, ringan untuk melontarkan protes. Tapi lihatlah aku sekarang, terpaksa diam. Tak ada lagi kata-kata yang bisa mewakili rasa sakit ini. Kata-kata terasa hampa, tak bermakna. Dan dalam diam itu, aku menemukan sebuah kekuatan aneh. Kekuatan yang datang bukan dari merajut kalimat-kalimat indah, melainkan dari mengendalikan hati dan lisan. Aku belajar bahwa tidak semua hal perlu diucapkan. Tidak semua rasa kecewa perlu diumbar. Terkadang, kekuatan terbesar adalah ketika kita memilih untuk diam, membiarkan hati berbicara dengan penciptanya, tanpa perantara kata-kata manusia.

Diam ini mengajari lidahku untuk berhenti mengeluh, dan mengajari hatiku untuk lebih bersabar. Seringkali, saat aku marah, aku merasa telah kehilangan kendali. Amarah itu datang seperti badai, menghancurkan segalanya di jalannya. Namun, realitas ini, yang begitu menyakitkan, justru memaksaku untuk belajar sabar dari kemarahan. Kemarahan yang kurasakan begitu besar, bahkan mungkin lebih besar dari yang pernah kurasakan. Tapi apa gunanya? Amarah tak akan mengubah keadaan. Ia hanya akan menambah beban dan mengikis ketenangan hati. Aku mencoba menyalurkan energi amarah itu menjadi sesuatu yang lain: menjadi kesabaran yang tebal, menjadi penerimaan yang lapang. Ini bukan kesabaran yang pasif, melainkan kesabaran yang aktif. Kesabaran yang memilih untuk tetap tegak meskipun badai menerpa. Kesabaran yang berbisik, "Ya Allah, aku ridha dengan ketetapan-Mu," meskipun air mata menetes.

Ada saat-saat aku merasa begitu rapuh. Hati ini terasa seperti kaca yang pecah berkeping-keping. Aku merasa tak sanggup lagi. Setiap kali aku merasa akan menyerah, aku teringat pada sebuah kenyataan yang tak terbantahkan: bahwa setiap orang pasti diuji. Ujian ini bukan hanya milikku. Sejarah dipenuhi dengan kisah-kisah orang-orang hebat yang diuji dengan cara yang jauh lebih berat. Para Nabi, para ulama, orang-orang shalih, mereka semua melalui jalan yang tidak mudah. Lantas, siapa aku hingga mengharapkan hidup yang selalu mulus? Ujian ini adalah tanda cinta-Nya, cara-Nya untuk membersihkan diri dan belajar kuat dari setiap kejadian. Kekuatan itu bukan hanya tentang fisik yang kokoh, melainkan tentang jiwa yang tidak pernah patah. Kekuatan yang membuatku tetap bernapas, tetap melangkah, meskipun dengan langkah yang gontai.

Dan di tengah badai, di tengah puing-puing harapan yang hancur, aku mencoba untuk mencari setitik cahaya. Setitik cahaya yang disebut syukur. Betapa sulitnya belajar bersyukur dalam setiap keadaan ini. Rasanya tidak ada yang bisa disyukuri. Tapi, perlahan, aku mulai mencoba. Aku bersyukur bahwa mataku masih bisa menangis, karena air mata ini adalah cara hati melepaskan bebannya. Aku bersyukur bahwa aku masih diberi kesempatan untuk merasakan sakit, karena rasa sakit ini adalah bukti bahwa aku masih hidup dan memiliki hati yang berfungsi. Aku bersyukur atas malam yang hening ini, yang memberiku waktu untuk merenung dan berbicara dari hati ke hati dengan-Nya. Aku bersyukur atas setiap hembusan napas yang masih Dia izinkan, meskipun dada terasa sesak.

Aku tidak bisa apa-apa. Aku benar-benar menyerah pada-Nya. Bukan menyerah dalam arti kalah dan putus asa, melainkan menyerah dalam arti memasrahkan segalanya. Aku tahu, aku tidak memiliki kekuatan untuk mengubah realitas ini. Aku tidak memiliki kuasa untuk memutar kembali waktu. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah bertahan, berdamai dengan keadaan, dan menyerahkannya kepada Sang Pemilik takdir. Aku serahkan semua kekecewaan, semua kepahitan, dan semua kelelahan ini. Aku hanya bisa berbisik, "Ya Allah, aku berlindung di bawah naungan-Mu. Jadikanlah setiap air mataku sebagai penebus dosaku, dan setiap kesabaranku sebagai bekal menuju-Mu."

Insomnia ini, yang selama ini kurasakan sebagai kutukan, kini mulai terasa seperti berkah tersembunyi. Malam yang panjang ini memberiku waktu lebih banyak untuk shalat malam, untuk bermunajat, untuk membaca Al-Qur'an. Di tengah keheningan, suaranya terasa lebih jelas. Di setiap ayat yang kubaca, seolah ada percikan cahaya yang menghangatkan hatiku yang membeku. Ayat-ayat itu bukan sekadar rangkaian kata, melainkan bimbingan dan janji dari Sang Maha Penyayang.

Di tengah keheningan ini, aku merasakan rindu yang begitu dalam. Rindu pada Ayah. Beliau adalah kamus hidupku, seseorang yang kata-katanya selalu menjadi obat penenang dan motivasi. Aku ingin mengadu padanya. Ingin memeluknya dan berbisik, "Yah, semua pesanmu satu per satu telah kualami sekarang." Dulu, saat beliau menasihati tentang hidup, aku hanya mendengarkan. Sekarang, setiap kata-katanya menjelma menjadi kenyataan yang harus kuhadapi. Beliau pernah bilang, "Hidup itu seperti ombak, kadang pasang kadang surut." Dan kini, aku sedang berada di titik surut itu, merindukan ketenangan yang ia bawa. Tapi aku tahu, meskipun jasadnya sudah tiada, rohnya selalu menjadi inspirasi bagiku untuk terus kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun