Oleh: Agus Sjafari*
Â
Islam pada dasarnya tidak mengenal adanya perlombaan secara formal dalam setiap aktivitas ibadahnya, karena dalam setiap aktivitas perlombaan itu terkandung di dalamnya sifat riya'. Islam sendiri sangat melarang ummat dalam melaksanakan ibadah yang di dalamnya ada unsur riya' dan pamer. Ketika dalam sebuah perlombaan dan kemudian ditentukan pemenangnya, di samping sang jawaranya mendapatkan hadiah iapun akan mendapatkan pujian dari sesama manusia yang sifatnya duniawi. Sedangkan aktivitas ibadah bukan merupakan aktivitas duniawi melainkan aktivitas rohani yang tidak boleh diperlombakan dan dipamerkan. Intinya Islam tidak mengajarkan aktivitas ibadah untuk diperlombakan atau dipamerkan.
Namun kegiatan ibadah sebagai sebuah spirit, sistem nilai, bahkan sebagai way of life (jalan hidup) merupakan sesuatu yang dianjurkan dalam Islam kepada para penganutnya. Hadiahnya langsung diberikan oleh Allah SWT dengan predikat taqwaa sebagai balasannya. Artinya seseorang yang memperoleh predikat juara atau jawara dalam islam adalah orang yang bertaqwa. Predikat orang yang bertaqwa tidaklah nampak secara kasat mata oleh manusia, melainkan hanya Allah SWT yang mengetahui apakah orang tersebut termasuk kategori taqwa atau tidak.
Istilah jawara bagi masyarakat Banten khususnya bagi civitas akademika Untirta begitu sangat familiar sebagai sebuah nilai yang menjadi spirit bagi keluarga besar Untirta dalam melaksanakan aktivitas sehari -- hari. Menilik sejarah di Banten bahwa orang yang disebut dengan jawara itu orang yang memiliki ilmu agama yang sangat tinggi ditambah juga dengan kemampuan bela diri yang tangguh. Para Jawara tersebut pada dasarnya selalu melakukan syiar islam guna membumikan nilai -- nilai islam bagi masyarakat Banten pada umumnya.
Khusus bagi keluarga besar Untirta, kita semua tahu bahwa istilah jawara merupakan akronim dari nilai -- nilai  yang diperas dari dua tokoh sentral yaitu Sultan Ageng Tirtayasa dan ulama besar Syech Nawawi Al Bantani. Nilai -- nilai kejuangan dan nilai -- nilai Islami dari kedua tokoh sentral tersebut menjadi penciri utama berdirinya Untirta sebagai kampus besar di Indonesia.
Aktivitas puasa di bulan Ramadhan dengan nilai -- nilai yang terkandung dalam istilah jawara ini memiliki keterkaitan yang sangat kuat, dimana aktivitas puasa akan memperkuat dan mengukuhkan internalisasi dan praktek nilai -- nilai jawara tersebut. Keterkaitan antara aktivitas puasa sebagai penguatan nilai -- nilai jawara ini secara spesifik dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Puasa memperkuat nilai kejujuran. Aktivitas ibadah puasa di samping menuntut seorang muslim untuk melaksanakan ibadah badani untuk menahan nafsu makan dan biologis, di dalamnya juga terkandung ibadah rohani melalui ibadah -- ibadah wajib dan sunnah guna memperbanyak pahala dari Allah SWT. Salah satu nilai penting dalam ibadah puasa tidak lain adalah nilai kejujuran, terutama kejujuran seorang hamba kepada penciptanya. Tumbuhnya nilai kejujuran ini dikarenakan pertanggungjawaban ibadah puasa ini langsung kepada Allah SWT. Orang lain tidaklah tahu apakah kita puasa atau tidak, namun Allah SWT maha mengetahui mengenai hal tersebut. Adanya kesadaran yang tinggi terkait nilai kejujuran itu setidaknya akan melekat bagi seorang yang bertaqwa meskipun di luar bulan ramadhan sekalipun.
Kedua, Ibadah puasa menerapkan nilai keadilan. Nilai -- nilai keadilan dalam aktivitas puasa di bulan Ramadhan dalam bentuk kepedulian sosial kita kepada sesama muslim atau sesama ummat beragama lain. Bulan ramadhan merupakann bulan berbagi dan peduli bagi ummatnya untuk membantu sesama muslim yang kelaparan, fakir miskin, kaum dhuafa melalui zakat, infaq, sedekah atau bentuk -- bentuk pemberian lainnya agar para kalangan fakir miskin dan dhuafa tersebut dapat menikmati kesenangan, kalau perlu mereka terangkat dari jurang kemiskinannya. Pemberdayaan fakir miskin di bulan ramadhan menjadi sebuah keniscayaan yang perlu deprogramkan oleh seluruh ummat muslim, pemerintah, kalangan swasta, organisasi kemasyarakatan guna mengentaskan kemiskinan.
Ketiga, Puasa menjunjung tinggi nilai -- nilai kewibawaan. Bagi seorang muslim yang menjalankan ibadah dengan khusu' khususnya di bulan ramadhan akan memancarkan aura kewibawaannya. Selama puasa ramadhan, setiap muslim dilarang untuk mengucapkan kata -- kata kotor dan tidak berguna sehingga kita dianjurkan untuk diam atau hanya mengucapkan kata -- kata yang bermanfaat. Nilai -- nilai kewibawaan seseorang terpancar dari kata -- katanya yang baik dan bermanfaat serta penampilannya yang menjunjung tinggi kesopanan. Nilai -- nilai kewibawaan tersebut akan terpancar, apabila seorang muslim menerapkan amalan ibadah yang kuat di bulan ramadhan ini.