Mohon tunggu...
Agung Webe
Agung Webe Mohon Tunggu... wellness coach

Makan dengan makanan yang kita olah sendiri dengan bumbu organik tanpa perasa dan bahan kimia, dapat menyembuhkan hampir semua penyakit.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Manusia Tanpa Ciri; Ajaran Ki Ageng Suryomentaram yang Masih Relevan

9 Mei 2025   00:12 Diperbarui: 9 Mei 2025   00:12 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto koleksi pribadi

Ada seorang pria yang baru saja selesai bicara di depan forum. Beberapa orang mencibirnya karena tak punya gelar. "Siapa kamu, berani-beraninya bicara soal hidup?" kata salah satu peserta. Tapi pria itu hanya tertawa kecil. Wajahnya tampak tenang. Ia menjawab pelan, "Saya bukan siapa-siapa."

Aku tertegun. Karena kalimat itu tidak terdengar seperti argumen. Juga bukan reaksi emosional. Ia benar-benar berkata tanpa beban. Tanpa perlu membela diri. Tanpa ingin menang. Seolah dia telah selesai dengan kebutuhan untuk menjadi 'seseorang'.

Dan entah kenapa, aku tiba-tiba teringat satu nama: Ki Ageng Suryomentaram.

Dalam ajarannya, ada istilah yang sering ia sebut dengan tenang: Manusia Tanpa Ciri. Dulu aku membacanya sebagai konsep. Tetapi sekarang aku melihatnya dalam bentuk nyata: seorang yang hadir sebagai manusia, bukan sebagai peran.

Di zaman ini, barangkali ajaran itu justru terasa makin penting. Karena sekarang kita hidup di dunia yang dipenuhi label. Setiap hari kita dipaksa untuk memperkenalkan diri lewat "apa yang kita lakukan", "apa yang kita miliki", atau "apa yang kita capai". Seolah-olah, kalau tidak punya ciri yang menonjol, kita tidak layak dilihat. Orang ramai memamerkan mobil Ferarinya, rumah besarnya atau uangnya yang menumpuk.

Tapi Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan hal yang lain. Bahwa semua identitas itu, yaitu gelar, status, bahkan pemikiran tentang "aku", adalah beban. Bahwa kita bisa hidup, bisa merasa, bisa menyentuh kehidupan... tanpa perlu membungkusnya dengan nama.

Kamu tetap bisa jadi guru. Tapi kamu tidak lagi sibuk menjadi "sosok guru". Kamu tetap bisa menjadi anak. Tapi kamu tidak terus-menerus menuntut orangtuamu mengakui peranmu. Kamu bisa mencintai, tanpa merasa perlu disebut "pasangan yang baik". Kamu bisa berbagi kehidupan tanpa menuntut untuk disebut 'guru spiritual'.

Manusia tanpa ciri bukanlah manusia yang kehilangan arah. Justru dia seperti embun yang hadir, jernih, tanpa nama. Dia tak menolak apapun, tapi juga tak mengejar apa-apa. Dan dari diri yang seperti itu, lahirlah kehadiran yang benar-benar utuh.

Aku jadi berpikir... mungkin selama ini yang membuat kita letih bukan kerja, bukan masalah, tapi upaya untuk terus-menerus menjadi "aku yang pantas diakui". Padahal siapa yang sedang kita yakinkan?

Hari ini, mari kita duduk diam sebentar dan membiarkan semua ciri itu jatuh satu per satu? Semua ini kita lakukan bukan untuk menghilang dari dunia, tapi agar kita bisa hadir sebagai manusia, yang tak lagi terbebani oleh harus jadi siapa-siapa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun