"Pa, Jokowi itu antek Cina dan PKI ya?"
Demikian pertanyaan anakku sepulang sekolah ketika saya jemput.
Saya sering meluangkan waktu untuk menjemput anak saya yang masih kelas 5 SD itu. Saya suka berbincang dengannya, karena dari keluguan dan kepolosan pemikirannya, selalu ada pelajaran yang berguna bagi saya. Kali ini saya agak terkejut dengan pertanyaan di atas. Jokowi? Antek Cina? PKI? Dari mana ia mendapatkan informasi-informasi itu?
"Memangnya Jokowi itu siapa?" Tanya saya.
"Lha, papa 'gaje' nggak tahu Jokowi. Jokowi itu calon presiden musuhnya Prabowo."
"Dari mana kamu tahu kalau Jokowi itu antek Cina dan PKI?"
"Kan temen-temenku pada cerita itu di kelas."
Di jalan, saya memperhatikan dia yang bicara tanpa beban sambil main game. Kemudian setelah obrolan itu, dia pun lupa dengan pertanyaannya dan asyik menikmati bakso karena lapar sepulang sekolah.
Bagi saya, walaupun dia lupa akan pertanyaannya dan sampai sekarang tidak pernah menanyakannya lagi, hal itu bukanlah masalah sederhana. Anak kelas 5 SD dan teman-temannya sudah membicarakan seseorang yang dihubungkan dengan antek Cina dan PKI. Saya tentu tidak dapat membuat 'generalisasi' bahwa semua anak-anak seusianya sudah membicarakan tentang pilihan presiden dan segala isu-isunya di sekolah. Saya hanya melihat dari pengalaman anak saya bersama teman-teman kelasnya. Â
Apa yang saya khawatirkan? Yaitu pandangan kebencian atau permusuhan terhadap Cina dan PKI. Ketika pandangan-pandangan seperti ini sudah ditanamkan sejak usia dini, maka anak-anak akan tumbuh bersama musuh yang harus dia perangi.
Mungkin saja, para politikus yang membesarkan isu ini tidak memperhitungkan dampak bagi anak-anak ke depannya. Atau mungkin malah sengaja? Saya tidak tahu. Namun sikap kebencian terhadap sesuatu yang dibawa dari kecil seperti di atas akan mencetak generasi 'rasis' dan memerangi apa yang dianggap sebagai musuhnya.