Mohon tunggu...
Agung Wasita
Agung Wasita Mohon Tunggu... Administrasi - pegawai swasta

pegawai swasta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pancasila sebagai Landasan Pendidikan Sekolah

13 Januari 2020   18:59 Diperbarui: 13 Januari 2020   18:58 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu sebuah media pernah mengangkat hasil wawancara dengan pengamat pendidikan soal situasi pendidikan pada saat ini. Pengamat itu mengeluhkan bahwa banyak sekali lingkungan sekolah yang mengakomodir cara berfikir intoleransi kepada anak didiknya. Cara berfikir itu menurut mereka didasarkan atas ajaran agama.

Pengamat itu mencontohkan argumentasi itu dengan menceritakan satu sekolah negeri yang punya bangunan sampai tiga tingkat. Pada tangga untuk naik ke tingkat berikutnya, sekolah menentukan ada tangga untuk perempuan dan ada tangga untuk laki-laki. Ketentuan itu tak boleh dilanggar dan jika melanggar akan dikenakan sanksi.

Tempat dudukpun demikian. Ada sisi kursi yang hanya boleh diisi oleh murid lelaki dan di sisi lain oleh murid perempuan. Ini adalah hal berbeda di sekolah umum negeri yang tidak berbasis agama. Biasanya sekolah adalah membaur dalam konteks yang positif. Tak ada pemisahan tangga atas beda jenis. Juga kursi yang bisa ditempati siapa saja meski dalam koridor kesopanan dan etika sekolah (seisal tinggi- rendah di belakang-depan)

Pengamat pendidikan itu yakin bahwa ketentuan seperti yang dia temukan di sekolah negeri di pinggiran Jakarta itu juga dilakukan oleh bebeberapa sekolah negeri yang lain. Satu ketentuan yang tidak berlandaskan ketentuan sekolah negeri biasa tapi menurut 'kreativitas' para pengelola sekolah.  

Ketentuan-ketentuan seperti diatas menurut pengamat, adalah salah satu contoh kecil dari cara berfikir intoleran. Artinya tidak bisa atau tidak boleh ada hal yang berbeda dalam satu golongan. Untuk tangga sekolah A hanya boleh dinaiki oleh golongan yang sama yaitu laki-laki saja.  Sedangkan golongan B hanya boleh dinaiki oleh golongan yang sama yaitu perempuan saja. Begitu juga tempat duduk.

Jika itu berlanjut, yaitu dari cara berfikir intoleran dalam skala kecil (pada masa anak didik masih berusia belia) lalu ke skala menengah sampai skala berat yaitu seseorang tidak bisa menerima orang yang beragama berbeda dengan dia atau yang lebih berat lagi, meski agama nya sama tetapi tidak pada ajaran atau mentor yang sama, maka dia akan bersikap intoleran.

Jika intoleran terus menerus dipupuk akan melahirkan orang-orang dengan faham radikal dengan konteks yang salah sehingga tidak bisa lagi menjadi bagian NKRI yang harmoni.

Karena itu pada orangtua mungkin kita mulai bisa melihat dan memonitor bagaimana sekolah anak-anak kita dalam koridor pendidikan yang benar, artinya meletakkan ajaran-ajaran agama tidak dengan membabi buta. Sekolah yang baik juga seharusnya bisa meletakkan Pancasila sebagai landasan cara mengajar dan mengolah nilai-nilai kemasyarakatan di sekolah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun