Atas dasar perbedaan adab berpolitik itulah banyak pihak mengangkat pena untuk melawan, salah satunya Denny Siregar. Sampai berdarah-darah mendukung Jokowi dengan tujuan agar politisasi agama tidak menang atas toleransi berlandaskan semangat Pancasila.
Ironisnya, pascapilpres Gerindra dan PDIP melakukan hubungan terlarang yang berakhir enak untuk Gerindra. Prabowo jadi Menhan, dan Prabowo yang lain --Edhy Prabowo-- jadi Menteri KKP mengganti Susi Pudjiastuti yang terdepak dari istana.
Gerindra makin happy setelah KKP melolos borgol ekspor benur yang dipasang Susi. Gak pake lama media kemudian mengendus, ternyata beberapa penerima manfaat dari pencabutan larangan ekspor benur adalah nama-nama yang terafiliasi Gerindra.
Tiba-tiba ingat Kemenhan, semoga tender dan belanja pertahanan berjalan fair dan transparan. Demikian juga kementerian lain.

Lebih elegan dan bermartabat jika dukungan penegakkan hukum oleh Gerindra --sebagai anggota koalisi inkumben-- bersifat universal, bukan hanya kasus Denny Siregar semata. Toh banyak masalah  yang harus dan sedang diselesaikan pemerintah dengan cost masing-masing yang tidak kecil.
- gelombang hoax selama pandemi Covid-19;
- belum redanya  politisasi SARA;
- paparan paham radikal pada anak-anak;
- tumbuh suburnya ormas-ormas pengganggu ketertiban;
- rawannya data publik diretas penjahat ekonomi/ teroris;
- kasus-kasus megakorupsi seperti e-KTP, Jiwasraya.
Mestinya Gerindra satu frekuensi bersama pemerintah untuk menuntaskan persoalan bersama-sama sebagai koalisi. Jangan hanya bergabung saat untung, tapi tebang pilih dalam menyelesaikan tugas dan  tanggung jawab.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI