"Setiap prahara membuka mata kita: bangsa yang besar bukan yang tak pernah jatuh, melainkan yang berani bangkit dengan kesadaran baru."
Sebuah Tragedi yang Menggetarkan
Bayangkan diri Anda terjebak di tengah kota yang mendadak berubah jadi "medan perang". Saya pernah mengalaminya. Di Baranang Siang, Bogor, tubuh ini berdesakan naik bus dengan kawalan dua anggota TNI menuju Slipi, Jakarta. Jalan tol penuh bebatuan besar, kendaraan merayap zigzag menghindari rintangan. Asap hitam menjulang, pusat perbelanjaan terbakar, teriakan bercampur tangis. Saya masih ingat, bagaimana saya membantu seorang karyawati yang ingin pulang ke Tomang. Wajahnya pucat, matanya basah, penuh ketakutan.
Suasana itu bak film No Escape, sebuah film laga seru yang dibintangi Owen Wilson. Jalanan seperti medan perang, suara sirine bercampur teriakan, dan setiap sudut kota tampak penuh ancaman yang membuat napas tercekat. Sensasi ketakutan dan kewaspadaan terus menempel, seolah setiap langkah bisa membawa risiko baru.
Itulah potret luka 1998 yang membekas dalam memori kolektif bangsa. Dan kini, seolah sejarah berulang, akhir Agustus 2025 kembali melahirkan prahara. Bukan sekadar letupan massa, tapi gelombang amarah yang menelan nyawa, melukai ratusan, dan merobek tenun sosial kita. Fasilitas publik hancur, trauma psikologis menyebar, dan pertanyaan pahit muncul: mengapa bangsa sebesar Indonesia tetap rapuh menghadapi badai yang sama?
Presiden Prabowo memang sigap membentuk tim investigasi independen. Tetapi, publik tahu, langkah formal saja tidak cukup. Yang jauh lebih mendesak adalah keberanian menyingkap akar persoalan. Sebab tanpa itu, krisis semacam ini hanya menunggu waktu untuk terulang.
Analisis Akar Masalah: Retakan yang Lama Dibiarkan
Kerusuhan Agustus 2025 bukan fenomena tiba-tiba. Ada lapisan-lapisan masalah yang sudah lama membusuk:
1. Ketidakadilan Sosial-Ekonomi
Kesenjangan kaya--miskin terus melebar. Anak muda menghadapi pengangguran dan harga kebutuhan pokok yang melonjak. Sementara itu, sebagian elite politik dan ekonomi sibuk mempertontonkan gaya hidup mewah. Fenomena ini mengingatkan pada Nepal: Nepokids di sana pamer kekayaan, sementara rakyat terjerat kemiskinan multidimensi. Situasi serupa mulai terasa di Indonesia.
2. Krisis Kepercayaan pada Institusi
Korupsi, nepotisme, dan birokrasi yang lamban membuat publik meragukan integritas negara. Di Prancis, pengabaian aspirasi rakyat soal anggaran publik menyalakan amarah yang berujung kerusuhan. Pola ini sangat mirip: rakyat kehilangan keyakinan bahwa suara mereka didengar.
3. Polarisasi Sosial dan Politik
Retorika tajam dan arus informasi liar di media sosial mempercepat eskalasi konflik. Seperti Indonesia tahun 1998, krisis ekonomi dan politik waktu itu tidak hanya soal rupiah yang jatuh, melainkan juga akumulasi kekecewaan publik terhadap rezim yang dianggap abai. Sejarah memberi pesan jelas: bangsa yang melupakan masa lalunya rentan mengulang luka yang sama.
4. Pengabaian Manajemen Risiko
Kelemahan sistemik dalam membaca potensi eskalasi, lemahnya early warning system, serta koordinasi antar lembaga yang tumpang tindih membuat pemerintah selalu reaktif, bukan proaktif.