Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Insan Pembelajar

Agung MSG - Trainer Transformatif | Human Development Coach | Penulis Buku * Be A Rich Man (2004) * Retail Risk Management in Detail (2010) * The Prophet’s Natural Curative Secret (2022) 📧 Email: agungmsg@gmail.com 📱 Instagram: @agungmsg 🔖 Tagar: #haiedumain | #inspirasihati

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Revisi KUHAP: Jalan Panjang Mencari Keadilan yang Tidak Terburu-Buru

16 Juli 2025   08:31 Diperbarui: 15 Juli 2025   16:50 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Revisi hukum adalah ujian: berpihak pada rakyat atau sekadar melegitimasi kekuasaan.|Foto: KOMPAS.com/Rahel

"Keadilan yang tergesa-gesa bisa jadi lebih berbahaya daripada ketidakadilan yang lambat."


Hukum Bukan Sekadar Prosedur, Tapi Penjaga Martabat

Di tengah dinamika perubahan sosial, teknologi, dan politik hukum, revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kini kembali menjadi perhatian utama. Usia undang-undang ini sudah lebih dari 44 tahun. Tidak heran, jika banyak pihak menilai KUHAP telah usang dan tak lagi relevan dengan zaman. Tak relevan dengan kebutuhan sistem peradilan modern, apalagi setelah KUHP juga resmi diperbarui lewat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, dan akan berlaku pada Januari 2026.

Namun satu hal penting yang perlu diingat: revisi hukum bukan sekadar pekerjaan legislasi, tetapi proses peradaban. Kualitas peradaban hukum dan produk hukum yang beradab ini yang jarang diperhatikan para pihak. KUHAP bukan hanya kumpulan prosedur, melainkan jantung dari keadilan pidana yang menyentuh langsung hidup manusia. Jika ia keliru disusun, maka bukan hanya hukum yang cacat, tapi juga nasib rakyat yang terzalimi.

Revisi yang Mendesak, Tapi Tak Boleh Tergesa

Keinginan DPR dan pemerintah untuk menuntaskan revisi KUHAP memang pantas diapresiasi. Sebab, hukum acara pidana adalah jembatan antara negara dan warganya dalam proses peradilan. Namun, urgensi bukanlah alasan untuk tergesa-gesa. Cepat belum tentu tepat. Singkat belum tentu saksama.

Belajar dari masa lalu, banyak undang-undang yang akhirnya “rontok” di Mahkamah Konstitusi. Umumnya, karena proses penyusunannya tidak transparan, terburu-buru, dan minim partisipasi bermakna. Legislasi yang tergesa cenderung menghasilkan produk hukum yang lemah, cacat substansi, dan bertentangan dengan konstitusi. Undang-undang harus dibuat untuk keadilan dan kebijaksanaan, bukan untuk memenuhi pesanan dan kepentingan yang disembunyikan.

KUHAP yang Lama: Lemahnya Perlindungan terhadap Hak Asasi

Salah satu kritik utama terhadap KUHAP 1981 adalah minimnya perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa. Misalnya, tembusan surat perintah penangkapan yang hanya disebut “diberikan segera” kepada keluarga tersangka tanpa batas waktu yang jelas. Ini membuka celah besar bagi penyalahgunaan wewenang oleh aparat. KUHAP juga masih menyisakan banyak celah impunitas, terutama dalam penyidikan dan penahanan.

Masalah lainnya adalah belum hadirnya prinsip due process of law secara utuh dalam praktik. KUHAP seharusnya menjamin hak untuk mendapatkan pengacara sejak awal. Termasuk juga perlindungan terhadap penyiksaan, serta pengawasan yudisial yang efektif terhadap semua tindakan paksa oleh aparat penegak hukum.

Tantangan Sinkronisasi dan Lex Specialis

Revisi KUHAP juga harus menghadapi tantangan harmonisasi dengan berbagai undang-undang lainnya. Salah satunya adalah UU KPK (Nomor 19 Tahun 2019) dan hukum acara tipikor sebagai lex specialis. Banyak kalangan menilai bahwa draf RUU KUHAP yang baru belum cukup mengakomodasi kekhususan dalam penanganan korupsi sebagai extraordinary crime.

Jika ini diabaikan, maka revisi KUHAP justru akan melemahkan efektivitas pemberantasan korupsi. Di sisi lain, sinkronisasi dengan sistem e-court, bukti digital, dan kehadiran teknologi dalam proses peradilan, juga belum dibahas secara mendalam dalam revisi saat ini.

Partisipasi Bermakna: Bukan Formalitas, Tapi Keharusan

Salah satu kritik paling serius dalam pembahasan RUU KUHAP adalah seputar minimnya partisipasi bermakna. Meski DPR mengklaim telah menggelar lebih dari 50 kali rapat dengar pendapat umum (RDPU), namun kelompok masyarakat sipil menyatakan bahwa banyak masukan yang tidak benar-benar dipertimbangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun