Mohon tunggu...
Agung Christanto
Agung Christanto Mohon Tunggu... Guru - guru SMA
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dari Nol Menuju Puncak, Berbagi Inspirasi dengan Keteguhan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menggali Kembali Sumber Kesetiaan Keluarga Sederhana Kami

28 Desember 2020   22:15 Diperbarui: 28 Desember 2020   22:35 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Menggali Sumber Kesetiaan KELUARGA Yang Sederhana"

Sebelum ku tutup sumur tua di depan rumahku. Di musim hujan ini ada perjuangan yang sangat mendalam dari keluarga yang sederhana. Di dalam keluarga orangtuaku, yang setiap hari mengambil air dari sebuah sumur yang sekarang di depan rumahku. Sejak kecil hingga ku beranjak dewasa dan akhirnya bekerja, sampai saat ini di tutup karena di masuki ayam pakpuh. Sejenak ku coba menggali makna perjuangan keluarga kecilku itu, yang berhasil dengan cara yang sederhana. Berjuang sampai menguras keringat hingga tak berkeringat lagi. Hingga memutih rambut kedua orangtuaku.

Ku ingat teladan Keluarga Kudus dari Nazareth (Maria,Yusuf dan Yesus), Ini bukan tentang yang terbaik dari ukuran manusia. Kekudusan adalah tentang menghadirkan Allah dalam hidup keluarga, tentang kasih dan pengampunan. Seperti saat keluarga kami yang selalu bisa melewati betapa keras dan sulitnya pergulatan hidup ini, hingga kami berpuasa dan makan nasi aking dari pemberian saudara, agar anak-anaknya tetap bisa makan, meski jauh dari kata"bergizi" . Lebih dalam lagi kugali disaat ada ketidakadilan tentang pembagian harta dan warisan keluarga besar. Dengan penuh kasih, selalu rendah hati menerima kesederhanaan ini keteladanan keluarga kudusMu, meski masih jauh dari kekudusan itu. Meski luka batin itu harus sembuh dalam proses perjuangan hidup itu sendiri. Dari sinilah kami harus belajar kembali untuk saling bahu membahu dan bekerjasama untuk tetap mengampuni yang sedarah daging, meski di khianati dan penuh dengan konflik. Saat itu lah berkat kesabaran dan belajar untuk pengampunanMulah yang mengajarkan untuk menyembuhkan luka batin kami. Dari sinilah dalam proses kehidupan ini Engkau selalu mendampingi dan mengayomi dengan iman kami, dalam kesetiaan kami padaNya akhirnya bisa melewati semua itu. Meski keluarga ini belumlah sempurna, karena masih ada hari esok dan kesusahannya sendiri. Dan dihadapi dengan usaha dan doa.   

Jika menyebut sempurna, bagaimana dengan keluarga yang tak utuh? Entah karena kematian, pekerjaan yang membuat berjauhan, perceraian? Apakah lalu mereka yang ada di sana tak boleh "berjuang" untuk menjadi kudus? Saat  teringat kembali, tentang keteguhan keluarga kecil orangtuaku. Memang keluarga ini masih belum keluarga yang sempurna. Saatnya kembali melihat kebelakang apa saja yang pernah dilakukan oleh orang tua kita masing-masing untuk mempertangguh bahtera keluarga itu sendiri. Kalau disadari kita tak punya ortu yg sempurna. Bahkan kitapun tak sempurna. Kalau sudah menikah, Anda juga tak menikah dengan orang yg sempurna. Haruskah kita mengeluh tentang satu sama lain?. Dan membuka kembali memperdalam luka batin kita? Bahkan kecewa satu sama lain. Oleh karena itu, tak ada keluarga yang sehat tanpa PENGAMPUNAN. Belajar untuk mengampuni sangat penting untuk memperkuat kokohnya jalinan keluarga kami,walaupun tak sempurna. Dari sini RohNya yang tinggal dalam hati kami selalu mempersatukan dan meluluhkan kekerasan dan ego diri.

Kami bukan juga Keluarga yang Ideal. Tubuh ideal ditentukan arus dunia, cantik ideal, ganteng ideal, keluarga ideal juga kerap diukur dari banyaknya harta, bisa dolan ke mana, punya apa, kariernya bagaimana?.. Ideal darimana? Tapi inilah kekudusan. Padahal kami sekeluarga jika akan pergi kerumah BuPuh di Yogjakarta meminjam dulu dari arisan atau menggadaikan perhiasan ibu,, itu yang selalu kami ingat, di saat naik bis bersama. Itu hanya sekelumit cerita kecil, untuk belajar menjadi keluarga yang sederhana, dengan KERELAAN untuk BERKORBAN menghadapi kerasnya hidup. Tuk keluar dari zona nyaman,ternyata masih harus diperjuangkan kembali. Kerelaan berkorban: dalam diri orang tua yang membesarkan kami dengan kasih sayangnya yang tak putus-putusnya, dalam diri laki-laki atau perempuan yang bekerja keras untuk menafkahi keluarga, dalam diri ayah yang meski capek menemani anaknya bermain, dalam diri ibu yang mau duduk mendengarkan curhat putrinya. Ini panggilan menjadi kudus. Dan setia menemini anaknya hingga ajal menjemputnya nanti, entah kapan itu terjadi? tapi masing-masing orang tua telah mempersiapkan anaknya agar tetap mandiri, dewasa, tangguh menghadapi tantangan hidup ini.

Semoga keluarga kita pun berjuang menjadi kudus. Di tengah rapuh dan lemahnya kita sebagai manusia, Tuhan memanggil kita untuk tetap saling mengasihi dan mengampuni, teristimewa keluarga-keluarga yang sedang dirundung masalah. Dan akhirnya mari kita persembahkan semuanya itu padaNya yang memberikan sumber kehidupan dan kesetiaan kita membantu sampai saat ini hingga nanti....dan sekarang ditutup bersertai lukanya yang harus di timba kembali kebaikan dalam sebuah keluarga kami yang begitu sederhana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun