Â
Kompasianer's, yang sudah menjadi ayah. Kemungkinan  pernah di posisi seperti saya, ingin membeli barang kesukaan tapi mikirnya lama. Ujung- ujungnya tidak jadi membeli, karena ingat kebutuhan di rumah.
Apalagi saat dompet sedang tipis, bersamaan dengan itu pekerjaan sedang sepi- sepinya. Maka duit yang masih tersisa, musti digunakan semaksimal mungkin. Yaitu untuk belanja sesuatu, yang bisa dinikmati bersama keluarga.
Misalnya membeli minyak, gula, beras, sayuran, kemudian dimasak dan dimakan bareng anak istri. Sisa uang yang dipunya, disisihkan untuk sangu anak sekolah. Agar belajarnya lebih giat, tak minder saat diajak jajan teman- temannya.
Ayah dianugerahi naluri kepemimpinan yang kuat, secara alami mengutamakan orang yang dipimpin. Maka otomatis ayah, dituntut rela mengesampingkan keinginan diri sendiri. Ayah musti sanggup menahan luka dan perih, dan hidup akan menghebatkannya.
Ya, sudah sewajarnya ayah mengalah pada banyak hal dan kesempatan. Hasil peras keringat dan banting tulangnya, dipersembahkan untuk keluarga. Sementara ayah dikuatkan hati, menikmati secukupnya saja.
Ayah menjadi garda terdepan, bersedia menikmati hasilnya belakangan. Tetapi tak usah nelangsa, karena ayah sedang dipersiapkan kehidupan. Kuda- kuda ayah ditangguhkan semesta, guna menampung hati yang luas.
Please, ayah jangan merana. Meski harus menempuh, peperangan tak ada habis-habisnya. Demikian sunatullah berkehendak, agar ayah menjadi kokoh dan tangguh.
Ayah dengan jiwa besar, adalah ayah yang siap mengalahkan ego. Ayah yang ideal, ayah yang siap sedia melindungi anak istri. Ayah yang hebat adalah, ayah yang telah selesai dengan diri sendiri.
----- ----- ----