Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saya Berkaca (Bahkan) dari Kengeyelan Ibu

29 November 2020   19:19 Diperbarui: 29 November 2020   19:22 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ibu kerap cerita, bagaimana kerepotan mengusahakan uang masuk kuliah sulungnya. Dibela-belain membayar memakai uang koin, sampai seperempat karung terigu. Dari nada bicaranya, tersirat kelegaan melewati kesulitan tersebut. Kemudian terasa ngos-ngosan, ketika membayar uang kuliah bulanan, uang kost, dan kebutuhan sehari-hari anaknya.

Siapa sangka, ternyata Ibu tidak jera. Kepada anak kedua dan seterusnya, selepas SMA tetap diinginkan kuliah. Kami tidak diperbolehkan puas, hanya memegang ijazah SMA. Meski untuk keputusan tersebut, sudah disadari resikonya.

Saya menjadi saksi, setiap awal bulan ibu kebingungan mencari pinjaman ke tetangga. Besaran gaji suaminya tak sepadan, dengan tangungan kebutuhan hidup termasuk biaya sekolah. Meskipun ibu sudah membuka warung sembako di Pasar. Meski sudah berhemat sedemikian rupa, makan dengan menu seadanya.

dokpri
dokpri
Di tengah keluarga besar (dari garis ibu), ibu dikenal sebagai tukang utang --hehehe. Pernah suatu subuh nenek ngomel-ngomel, karena dibangunkan anaknya (yaitu ibu saya) untuk pinjam uang. "Pagi-pagi. Orang lain repot nyiapin sarapan, kamu repot nyari utangan" ujar nenek sewot.

Adik-adik ibu yang kebanyakan perempuan (ibu anak sulung), tak ayal juga menjadi jujugan untuk meminjam uang. Tetangga kanan kiri rumah, tetangga jauh, beberapa pedagang di pasar, yang dipandang punya akan dipinjami ibu. Saya kerap disuruh ibu mengambil uang, ke orang yang hendak dipinjami uang. 

Tetapi satu hal yang saya acungi jempol, ibu selalu tepat waktu mengembalikan utang alias tanpa ditagih. Ibu tidak pernah ingkar untuk janjinya, sehingga yang diutangi tidak kawatir. Ayah masuk masa pensiun, ketika saya naik kelas dua SMA. Kakak pertama dan kedua berkeluarga, tiga anak lainnya merantau dan bekerja. Ayah membantu ibu jualan di pasar, dan hidupnya mulai tenang. Melihat ayah dan ibu tidak lagi dikejar utang, saya tidak tega merepoti di hari tua mereka.

Ibu tetap mendorong bungsunya, ikut test masuk Perguruan Tinggi Negeri. Setelah gagal masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN), saya memilih istirahat dan satu tahun kemudian kuliah di PTS nyambi bekerja. Tekad tidak ingin merepoti ibu menggebu, akhirnya saya buktikan sampai berhasil memakai toga.

Setelah saya menikah, ayah berpulang pada saat cucu (dari bungsunya) usia enam bulan. Sangat jelas tampak di depan mata, dalamnya kesedihan ditanggung ibu. Duka ibu dihari perpisahan itu, seperti akumulasi dari perjalanan panjang bersama belahan jiwa.

Saya Berkaca (Bahkan) dari Kengeyelan Ibu

 "Biar ibu saja yang bodoh, anak-anaku jangan" ujarnya lirih.

Ibu memendam kagum dengan orang pintar, dia pernah menyatakan hal ini. Tak heran kalau saya kerap memergokinya, mengikuti siaran berita atau dialog di televisi atau radio. Meskipun setelah berita selesai, mengaku tidak paham apa yang disimak. Kemudian besok dan besoknya lagi, tetap saja kebiasaan (mengikuti berita/ dialog) itu diulangi.

Dengan menguliahkan anak-anaknya, bisa menjadi cara meraih cita-citanya yang tak bisa digapai sendiri. Ibu  tipe orang, apa yang terjadi nanti dihadapi nanti. Tak heran jika ibu kerap kebingungan, ketika tiba saat membayar uang sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun