Mohon tunggu...
Agung Drajat Sucipto
Agung Drajat Sucipto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pernah lulus S2 dan S1 Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

22 Desember: Hari Ibu atau Hari Kebangkitan Perempuan?

22 Desember 2020   11:45 Diperbarui: 22 Desember 2020   11:48 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

22 Desember, Hari Ibu atau Hari Kebangkitan Perempuan?

oleh : Agung Drajat

Tapatnya pada tahun 1959, Presiden Soekarno menetapkan (22 desember) Hari Kebangkitan Perempuan sebagai hari besar nasional (SK Presiden RI No. 316/1959). Hal ini terinfluence dari kongres perempuan pertama yang bertempat di Yogyakarta, yang dianggap sebagai hari bersejarah karena ketika itu berbagai gerakan perempuan lintas politik, lintas agama, dan lintas suku berkumpul dalam satu wadah untuk menyatukan tuntutan dan aspirasi para perempuan Indonesia. Kala itu, Ndalem jayadipuran Yogyakarta dipilih sebagai tempat organisasi-organisasi perempuan dari berbagai daerah berdiskusi, bertukar pikiran, dan menyatukan gagasannya.

Kongres itu mulai menitikberatkan pentingnya penghapusan diskriminasi dengan mengajukan sejumlah tuntutan perjuangan pada tahun 1928. Di antaranya hak perempuan atas pendidikan dan hak atas perkawinan anak. Namun, Presiden Soeharto mengubah pemaknaan itu dengan menjadikan Hari Kebangkitan Perempuan sebagai Hari Ibu. Soeharto mengubah nama peringatan itu untuk mendorong perempuan, yang semula didorong untuk aktif berpolitik berubah sebagai sosok ibu yang menuruti suami dan tidak bersuara soal politik. Secara tidak langsung, hal ini justru mengkampanyekan ruang perempuan hanya sebatas mengurus rumah tangga atau urusan domestik saja.

Padahal perempuan harusnya memiliki hak yang sama sebagai warga negara, mulai dari hak mendapatkan pekerjaan yang layak, hingga hak untuk mendapatkan perlindungan yang layak. Contoh saja, belajar fenomena artis-artis yang terjaring prostitusi, justru yang paling tersudutkan adalah pihak perempuannya bahkan tidak sedikit yang berakhir menjadi tersangka. Pemberitaan yang dibuat justru bukan mendalami atau mengungkap jaringan prostitusi yang beredar luas, tetapi malah bingkai berita yang diciptakan justru menempatkan perempuan sebagai objek seksual.

Pada kasus yang menimpa masyarakat biasa pun, pihak perempuan selalu dijadikan ulasan utama topik pembahasan betapa tidak bermoralnya kaum perempuan yang terseret kasus prostitusi. Sedangkan kaum pria selaku pengguna jasa prostitusi kerap dilupakan atau tidak terlalu menjadi sorotan utama, bahkan jika pelaku merupakan tokoh terkenal sekalipun. Apakah hak mendapat perlindungan sudah setara? Yang ada hanyalah Ironis.

Kembali lagi keulasan, bagi penulis pribadi tidak ada masalah sebutan hari ibu atau hari kebangkitan perempuan, selama esensi dari perempuan Indonesia tidak semakin dipersempit, malah justru diberi ruang yang sama untuk berkarier dan mendapatkan hak-hak yang sama. 

Bagi yang sepakat dengan sebutan Hari ibu, jangan disalahkan atau dianggap berfikir kerdil. Siapa tahu itu menjadi momentum untuk lebih dekat dengan orang yang melahirkannya, lebih menyayangi dan menghormati ibunya, yang mungkin di hari-hari lain sering terlupakan atau bahkan tidak sama sekali. Meskipun untuk mengucapkan, bagaimana kabarnya ibu? Ibu sudah makan belum? Aku baru gajian ini, ibu mau dibelikan apa? Dan ucapan-ucapan yang lain yang mungkin hanya terjadi di hari ibu.

Bagi yang sepakat dengan sebutan hari kebangkitan perempuan nasional, juga hendaknya diimplementasikan dengan semakin ditingkatkan lagi kualitas SDM nya. Gerakan ini sudah mulai bergema, misalnya saja dalam hal pendidikan, per tahun 2020 sudah banyak perguruan tinggi yang melahirkan guru besar -- guru besar dari perempuan. Hal ini seharusnya menjadi semakin luas juga kesempatan merekonstruksi ulang pemikiran yang sempit tentang ruang lingkup dan hak perempuan kepada generasi yang akan datang.

Penulis belajar dari pengalaman ibu sendiri. Ibu saya mampu bekerja sekaligus mengurus suami dan anak-anaknya, bahkan tak jarang perabotan yang biasanya urusan laki-laki sesekali ibu saya bisa memperbaikinya sendiri. Artinya kalau perempuan memiliki kapsitas diri, dari situlah baru bisa dibangkitkan semangat pada perempuan untuk bisa survive menjalani berbagai macam peran.

Tidak butuh seribu jenis teori feminisme, atau isme-isme yang lain untuk menghargai perempuan. Bagi penulis, perjuangan ibu sendiri tidak bisa digambarkan dengan teori gender manapun, sebab "sejauh apapun penulis melangkah, ibu adalah rumah tempatku pulang".

(Ditulis oleh Agung Drajat, anak pertama dari perempuan tangguh bernama Umi Khamidah)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun