Mohon tunggu...
Agsel Ghozi
Agsel Ghozi Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang siswa di SMK Telkom Sidoarjo

Tulisan dimulai dari pikiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Alangkah Lucunya Negeri Ini

21 Oktober 2020   16:00 Diperbarui: 21 Oktober 2020   16:02 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya tergelitik membuat artikel ini dikarenakan film yang berjudul  "Alangkah Lucunya Negeri Ini", yang disutrdarai oleh dedy mizwar mantan wakil gubernur jawa barat 2013-2018, film ini dirilis pada 15 April 2019, menceritakan tentang sosok pemuda bersama kedua temannya untuk memperbaiki nasib, dan image para copet, mereka mengajari para copet tersebut dengan pelajaran agama, dan pelajaran nasionalis,dan ketiganya berusaha untuk merubah mindset dengan mencobanya mengasong di pinggir jalan. 

Kondisi di negeri tercinta ini sudah dijelaskan secara gamblang dalam film ini ketika para mantan pencopet ini mengasong keberadaan mereka diketahui oleh para Satpol PP dan para pengasong berhasil melarikan diri ke markasnya.

Menurut www.kaskus.co.id orang mencopet karena disebabkan oleh terdesak karena ekonomi, dan pengangguran sebenarnya ada alasan lain tapi kita ambil kedua ini karena ini umum, umumnya orang yang mencopet karena tidak mempunyai pekerjaan sementara kebutuhan dia semakin banyak, orang menjadi copet biasanya anak dari orang tua yang tidak mampu memberi mereka kebutuhan umumnya, akhirnya sang anak tergerak untuk menjadi pencuri.

dalam tulisannya situs www.cnnindonesia.com menjelaskan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang tidak stabil dan ibu yang tidak memberikan kebutuhan emosional, memiliki kadar hormon stres lebih tinggi serta keterlambatan belajar.

Penelitian ini mengikat pola tertentu hormon kortisol, yakni yang dilepaskan ke aliran darah ketika stres, dengan kemampuan kognitif anak-anak dalam kondisi kemiskinan.

Pola asuh yang tidak sensitif dan ketidakstabilan keluarga adalah penentu profil kortisol anak terkuat. Bahkan, lebih kuat dari faktor lain, misalnya kekerasan antarpasangan, kata Jennifer H. Suor, mahasiswa doktor di bidang psikologi klinis di Universitas Rochester.

Apakah jumlah calon pencopet bisa dikurangkan jawabannya "YES" caranya pemerintah harus turun tangan sesuai ketentuan UUD pasal 34 ayat 1 berbunyi "Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara" tapi benarkah selama ini pemerintah merawat fakir miskin dan anak terlantar? Dalam situs klikanggara.com menjelaskan bahwa pemerintah kita terhadap UU tersebut, pelaksanaanya masih jauh panggang dari api.

Buktinya apa, coba kita lihat di fasilitas umum sekitar kota masih banyak kita temukan pengemis dan pencopet yang mirisnya seusia remaja sudah melakukan itu, dan biasanya uang hasil ngamen tersebut, dibelikan rokok,mengecat rambut, dan biasanya nongkrong di warkop dan semacamnya cobalah lihat malam-malam ke warkop yang berada di pinggir jalan.

  Kenapa mereka tidak berubah menjadi pengasong, jawabannya ada dua faktor, pertama faktor internal penyebabnya lebih baik menjadi pencopet/pengemis karena penghasilannya lebih besar daripada ngasong, kedua factor eksternal yaitu "SATPOL PP" memang sih tugasnya menertibkan "lalu lintas" oke misalnya kalau "pengemis,pencopet" diamankan setelah itu serahkan kepada pemerintah untuk dirawat bersama keluarganya dengan diberikan fasilitas umum yang layak.

Namun sayangnya Satpol PP lebih memilih memberangus dan memasukkannya ke penjara, tidak sesuai dengan UU pasal 34 ayat .

 Saya juga menemukan penyebab mereka tetap menjadi pencopet ialah, karena para senior mereka sebut saja namanya "Tikus Kantor" alias koruptor, sebenarnya keduanya sama, kalau mencuri keduanya lihai, kalau ketahuan mereka-mereka ini akan dipanggil oleh pihak yang berwajib, yang berbeda ialah para tikus kantor dipanggil oleh KPK, sementara para pencopet akan dipanggil oleh aparat kepolisian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun