Mohon tunggu...
Aveline Agrippina
Aveline Agrippina Mohon Tunggu... -

Aveline Agrippina atau pemilik nama alias Agripzzz ini lahir di tengah hiruk pikuk kota Jakarta menjelang akhir bulan April. Masih menetap sebagai seorang siswa dan blogger muda yang aktif di beberapa jejaring sosial dan sibuk meracik tulisannya dalam bentuk esai, puisi, sajak, ataupun cerpen. Aktif sebagai blogger sejak 2005 setelah tersesat di sebuah jaringan maya yang bernama Friendster. Lalu menyebarkan dirinya melalui berbagai macam situs. Senang melancong dan berkelana ke manapun dia akan menjejakkan kakinya di kota manapun, laut yang akan dia sebrangi, ataupun gunung apapun yang akan dia daki. Masih berpikir ke mana akan dia bawa naskah-naskah kumpulan puisinya yang telah menumpuk di atas mejanya. Sesekali memberanikan diri mengirimkan naskahnya dengan modal nekad karena tanpa pengalamannya. Tukang begadang di tengah malam sambil mendengarkan lagu instrumental ataupun jazz. Menurutnya, jazz adalah sebuah kebangkitan dari hidup. Bukan pop, rock, ataupun heavy metal. Masih juga tergila-gila dengan buku yang beraroma sastra, bermain sebagai orang di belakang lensa, pengedit naskah, dan sebagai pelancong ke negeri antaberanta. Berobsesi ke Papua, mendaki Cartenz Pyramid. Dan, kalau Tuhan mengizinkan, dia ingin mati setelah mengibarkan bendera Indonesia untuk kesekian kalinya di sana. Katanya bahwa Papua adalah seperti dirinya, ada namun selalu tak pernah diperhatikan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kasih Ibu Tidak Sepanjang Jalan

22 Desember 2009   01:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:50 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tak tahu peribahasa mana yang mengatakan "kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah" apakahbenar atau tidak. Di dalam dinamika sosial, apakah kasih dapat diukur dengan mistar, jangka sorong, neraca, atau sebagainya? Kasih -sepanjang yang saya tahu- adalah soal rasa, soal perasaan, dan kepekaan seseorang untuk menilai sisi penyayangan umat manusia. Bagaimana kasih ibu sepanjang jalan? Apa ukurannya? Saya pernah bertanya kepada nenek saya mengenai hal ini. Mengapa kasih ibu sepanjang jalan? Apakah tidak ada yang lain sebagai dasar ukuran? Hanya sepanjang jalan sajakah? Nenek saya menjawab sangat mudah: karena kasih seorang ibu itu tidak ada batasannya. Sejenak saya berpikir benarkah tiada batasannya jika diukur dengan acuan jalan? Dengan mengandung, tergopoh-gopoh berjalan dengan perut yang semakin besar, semakin menua, bisa diukur dengan jalan. Melahirkan, menyusui, dan menjaga sampai anak itu bisa melepaskan diri dari ibunya. Menjaga ketika sakit, mengajarkan, dan memberi makan.  Menjadi teman curhat, teman perjalanan, teman suka dan duka. Banyak hal yang ibu berikan kepada seorang anak tetapi hanya diukur dengan sepanjang jalan. Lantas, jalan yang manakah yang menjadi pondasi ukuran tersebut? Sewaktu SD, guru saya pernah menyinggung hal ini. Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah. Guru saya mendeskripsikan kasih ibu itu seperti jalan tol, terus mengalir tiada henti. Saya sempat protes kepada beliau: "Pak, jalan tol juga macet, Pak!" Balasannya adalah: "macet itu ketika ibumu sakit atau sedang bersedih." Baiklah, persepsi itu saya terima. Kemudian beliau membentangkan mistar 30 sentimeter dan berkata: "nak, kasih anak itu sepanjang galah. Galah itu sepanjang ini!" Saya hanya diam dan berpikir saja mengenai jalan dan galah itu. Semenjak saat itu, saya tak pernah menerima bahwa kasih ibu itu sepanjang jalan. Saya tidak pernah setuju dengan pepatah itu. Mana bisa kita menyatakan kasih ibu itu sepanjang jalan? Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah: apa balasan anak kepada ibunya sehingga bisa diukur sepanjang galah? Kembali lagi kepada nenek saya. Saya bertanya mengapa hanya sepanjang galah. Apakah tidak ada yang lebih panjang atau lebih pendek lagi? Jawabannya: karena galah itu benda yang pendek, kadang kedua ujungnya bisa dipegang oleh satu orang. Lho, bukannya masih banyak benda yang bisa semacam itu? Lalu, memang tidak sepanjang jalankah? Bukannya mereka juga tidak pernah dituntut untuk dilahirkan? Abraham Lincoln sebagai anak pernah menulis:

I remember my mother's prayers and they have always followed me.  They have clung to me all my life. (Saya mengingat doa-doa ibu saya dan doa itu selalu mengikuti saya. Doa-doa itu melekat kepada saya sepanjang hidup saya)

Apakah ibu bahagia ketika kasihnya diukur hanya dengan jalan? Apakah ibu puas kasihnya hanya sepanjang jalan? Apakah ibu senang kasihnya sebatas jalan semata? Apakah anak bangga kasihnya sepanjang galah? Apakah anak merasa lega kasihnya yang diberikan hanya sebatas galah? Uang bisa dinilai, harta bisa diukur. Sekaya apapun ibu kita, semiskin apapun ibu kita. Material bisa dijumlahkan, dikurangi, dikali, dan dibagi. Bagaimana dengan kasih? Apa ukuran dasar untuk sebuah kasih sehingga Abraham Lincoln bisa menulis demikian? Banyak pertanyaan di dalam benak saya. Saya tidak pernah mengamini bahwa kasih ibu sepanjang jalan. Saya tidak pernah setuju dan saya acap kali memberontak dengan keadaan itu. Kasih itu soal rasa, soal hati. Kalau diukur seperti jalan, seperti galah, saya tak akan pernah mampu mengukurnya. Kasih ibu itu tidak sepanjang jalan dan kasih anak itu tidak sepanjang galah. Saya mengukurnya dengan rasa, bukan dengan satuan semacam itu. Kasih ibu yang saya rasakan selama saya hidup itu tidak ada batasannya. Tidak terdefinisi. Tidak terhingga. Dan kasih yang saya balaskan kepada ibu saya adalah kasih yang tidak ada bedanya dengan isapan jempol semata. Itulah yang membuat saya tetap bertahan mengapa kasih anak itu bukan sepanjang galah, ketika saya merasa kasih saya sudah di seberang galah, saya merasa: cukup. Dan itu tidaklah cukup untuk membahagiakan seorang ibu. Ibu yang pernah ada di dunia ini. Ibu yang tak pernah menuntut banyak dari anaknya. Ibu yang menilai semua hal secara: gratis. Ibu yang paling saya muliakan di dunia. Selamat pagi! Selamat hari ibu! Jakarta, 22 Desember 2009 | 7.39

The mother is everything - she is our consolation in sorrow, our hope in misery, and our strength in weakness. She is the source of love, mercy, sympathy, and forgiveness. He who loses his mother loses a pure soul who blesses and guards him constantly. - Kahlil Gibran


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun