Mohon tunggu...
agoeng widyatmoko
agoeng widyatmoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengusaha pengolah cerita untuk beragam media

Saya adalah pemerhati bangsa dan sekaligus praktikan yang peduli pada perubahan diri dan lingkungan. Untuk hidup, saya menulis banyak hal. Dan kini, saya hidup untuk menulis dan menginspirasi dengan cara-cara yang sederhana, namun mudah dimengerti dan dipraktikkan bersama.

Selanjutnya

Tutup

Money

Tundalah Keinginan Menunda-nunda

27 April 2012   02:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:03 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Saat ini, satu hal yang menurut saya masih sering jadi penyakit massal. Penyakit sosial yang konon bikin negeri ini tak maju-maju. Yakni, kebiasaan menunda-nunda. Menunda apa saja. Menunda pekerjaan, menunda melakukan kewajiban, hingga hal remeh seperti menunda mandi atau bahkan gosok gigi. Nah! Kalau yang terakhir itu, gosok gigi, kalau ditunda, mungkin tak terasa cepat dampaknya. Tapi, coba, kalau kemudian berdampak pada kerusakan gigi? Hmm… sangat menyiksa diri. Kerja tak enak, makan pun tak lezat. Koki kelas dunia pun nggak bakal bisa membuat masakan paling lezat bagi orang yang sakit gigi.

Intinya, menunda apapun, biasanya pasti akan berdampak merugikan. Tumpukan pekerjaan, tumpukan masalah, hingga bertubi-tubi dampratan akibat kerja tak segera dilaksanakan. Tapi, ada satu hal penundaan yang menurut saya wajib dilaksanakan. Emang ada?

Ada dong… menunda kebiasaan menunda! Nah, bingung? Nggak kok. Sederhana. Kalau kita punya kebiasaan menunda, maka lestarikan kebiasaan itu dengan menunda saat keinginan menunda muncul. Gampangnya begini. Karena sifat suka menunda sudah mendarah daging, maka lakukan saja kebiasaan itu dengan elegan. Caranya. Saya beri contoh. Saya paling suka menunda membuat tulisan semacam ini. Karena, saya menganggap ini hanya relaksasi otak yang tak perlu diseriusi.

Tapi, saat keinginan menunda itu muncul, karena saya ingin melestarikan kebiasaan tersebut, maka saya pun segera menunda keinginan menunda membuat tulisan ini. Alias, ya sudah, saya kerjakan saja sekenanya. Maka, muncullah tulisan ini.

Dan, jangan dikira saat menulis ini saya tak tergoda untuk menunda membuat paragraf dan kata-kata loh. Banyak sekali godaan untuk berhenti. Teman mengajak chating, kerjaan yang kudu diselesaikan, hingga suara berisik yang membuat kuping tak nyaman. Tapi, kembali saat keinginan menunda itu terjadi, saya tumpuk saja dengan keinginan menunda penundaan itu. Maka, meluncurlah lagi kalimat demi kalimat ini.

Contoh lain. Saat saya hendak menunda mencuci kendaraan—dengan alasan toh sedang musim hujan, paling nanti kotor lagi—saya segera menunda keinginan tersebut dengan langsung mengguyur kendaraan. Byur! Maka, saat tangan ini terbasah oleh air, otomatis semua komponen dalam tubuh segera bergerak saling padu untuk ikut kerja bakti menyelesaikan cucian kendaraan. Nah, sifat menunda saya ternyata berbuah kendaraan kinclong kan?

Begitulah. Sampai saat ini, saya masih sering tergoda untuk menunda-nunda. Bangsa ini konon juga sudah menjadikan hal itu sebagai budaya. Mungkin, hanya pemerintah yang jarang menunda, contohnya saat menaikkan BBM. Tanpa menunda lagi, mereka menaikkan. Tapi, begitu turun, mereka juga tidak menunda, tapi tidak menunda untuk bertahan pada harga yang lama….hehehe. Meski, saat tulisan ini dibuat, harga BBM belum jadi naik, yang pasti sudah banyak yang tidak menunda naik duluan...

Karena itu, menurut saya, sifat menunda itu jangan diberangus. Jangan pula diberantas. Cobalah dilestarikan saja, tapi letakkan pada tempatnya. Misalnya, saat ada pekerjaan yang belum selesai, segeralah tunda tidur malam kita. Saat ingin korupsi karena godaan harta, tundalah—bahkan matikanlah—keinginan yang hanya menghasilkan kesenangan sesaat itu. Kalau sedang dirundung masalah, tundalah untuk bersenang-senang, selesaikan dulu satu per satu, cari solusinya.

Bagi saya, menunda itu hanyalah soal bagaimana kita menyikapi waktu kita kok. Kalau mau maksimal hasil yang dicapai, silakan menunda, menunda untuk bermalas-malas, menunda untuk tidak bekerja. Intinya, semua dikembalikan pada diri sendiri. Kalau memang menunda sudah membudaya, kenapa kita tidak “berteman” saja? Kalau dalam bahasa bisnis, kalau tak bisa menang dalam kompetisi, mengapa tidak bekerja sama saja?

Jadi, mengapa takut menunda? Tundalah keinginan menunda Anda, sekarang! Ayo kerja!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun