Mohon tunggu...
agoeng widyatmoko
agoeng widyatmoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengusaha pengolah cerita untuk beragam media

Saya adalah pemerhati bangsa dan sekaligus praktikan yang peduli pada perubahan diri dan lingkungan. Untuk hidup, saya menulis banyak hal. Dan kini, saya hidup untuk menulis dan menginspirasi dengan cara-cara yang sederhana, namun mudah dimengerti dan dipraktikkan bersama.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rahasia Menunda Keinginan Menunda-nunda

14 Juni 2016   07:40 Diperbarui: 14 Juni 2016   08:05 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menunda adalah penyakit. Karena tiap penyakit ada obatnya, maka sifat suka menunda pun bisa disembuhkan. Bukan dengan obat. Tapi dengan sikap.

Membayangkan antrean kereta yang tertunda berangkatnya tentu menyiksa. Apalagi kalau jam kerja. Alasannya memang beragam. Tapi kalau sudah tertunda dan membuat penumpang menumpuk, itu awal bencana. Satu, copet pasti dengan mudah merajalela saking penuhnya. Dua, hukumnya kalau tidak terinjak ya menginjak. Kereta pasti akan segera berasa sauna.  

Coba bayangkan juga kalau tertunda gajian. Ditambah lagi, hilal THR yang harusnya tampak di depan mata, tiba-tiba perusahaan mengatakan menunda. Sudah pasti daftar belanjaan ikut tertunda. Efeknya bisa panjang mengular. Yang tadinya sudah siap bergembira, akan berubah mengumpat tak terkira. Apalagi kalau alasannya tak disiapkan dengan logika. Yang ada, kerja tak semangat, mau tak kerja juga takut dipecat. Sehingga kerja jadi apa adanya.

Inilah kenapa menunda itu adalah penyakit. Karena bisa menularkan banyak sakit. Sakit di dompet, sakit di kepala. Parah lagi, kalau sakit akibat digebuk debt collector akibat tertunda bayar utang bulanan.

Karena itu, menunda harus segera diobati. Macam-macam caranya. Ada yang sederhana, sampai kompleks hingga mendatangkan ahli manajemen waktu dari mancanegara. Parahnya, datangnya ahli kadang terlambat juga. Inilah lingkaran setan bernama menunda-nunda. Yang tadinya bisa selesai, jadi terhambat. Yang tadinya bisa senang-senang, jadi umpatan bersama.

Lalu bagaimana mengatasinya, mengobati, dan membuatnya jauh-jauh agar tak menulari kita? Ini versi saya.

Ingat Nabi.

Apa hubungannya? Dalam salah satu surah Qur’an Al Insyirah (QS 94:6), disebutkan Fa-idzaa faraghta faanshab, setelah selesai satu urusan segera berpindahlah dengan sungguh-sungguh ke urusan lainnya. Saya haqqul yakin, kenapa Nabi Muhammad SAW itu bisa luar biasa suksesnya dalam menyebarkan ajaran Islam. Selain faktor sudah dikehendaki Allah, beliau ini pasti jago dalam urusan manajemen waktu. Kalau pengen sukses, ya contoh beliau. Maka, kalau lagi pengen menunda, ingat Nabi. Beliau diperintah langsung oleh Allah, sesuai ayat tadi, agar segera setelah selesai, segera pindah ke urusan lainnya. Jadi, kalau mau sukses, ya ikuti saja perintah itu. In sya Allah rasa menunda akan segera kabur. Wong yang perintah langsung yang bikin kita hidup.

Beri hadiah.

Kalau bisa selesaikan pekerjaan tepat waktu atau lebih cepat dari jadwal, beri hadiah diri sendiri. Sederhana saja. Misalnya yang hobi nonton bisa cari bioskop untuk hadiah tak menunda. Atau makan enak di mana. Terserah, kita sendiri yang pilih reward-nya. Begitu juga sebaliknya. Kalau meleset dari jadwal, juga beri hukuman. Misalnya tidak boleh makan gorengan, tidak boleh nonton film. Mana saja yang disuka, itu yang dijadikan larangan kalau meleset dari jadwal. Ini akan menyiksa kalau kita tak tepat jadwal. Dengan begitu, kita akan berusaha tak menunda.

Jangan multitasking.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun