Mohon tunggu...
agitia kurniati asrila
agitia kurniati asrila Mohon Tunggu... Lainnya - Psychology Enthusiast

Long life learner

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Haruskah Empati Dimiliki oleh Setiap Orang?

7 Agustus 2020   20:37 Diperbarui: 7 Agustus 2020   20:46 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Siapa sih yang ga kenal istilah empati ? Terlebih bagi anak psikologi yang selama masa kuliahnya selalu diingatkan untuk selalu mengasah empati. Ya maklum, jurusan psikologi, yang kabarnya sekarang makin tinggi peminatnya itu, memang menjadikan empati sebagai kemampuan dasar yang perlu dilatih. Wajib hukumnya, karena konon, hal itu dipengaruhi oleh tuntutan karir masa depannya, yakni sebagai wadah yang siap menampung berbagai keluh kesah orang lain.

"Lah berarti anak psikologi ga boleh ngeluh dong ?" 

Ya boleh lah! Anak psikologi, bahkan psikolog juga manusia, yang pernah patah hatinya, ditolak cintanya, suram hidupnya. 

"Tapi trus, kalau sudah begitu, gimana ya caranya agar mereka masih bisa berempati ?". 

Kalau gini sih urusannya bukan cuma anak psikologi saja. Siapapun itu, walau terkadang kondisi yang dihadapi juga sedang sama suramnya, perlu memiliki kemampuan untuk bisa berempati.

Ya, sulit memang untuk mau melihat ke luar diri dan peduli jika kita juga belum selesai dengan persoalan diri kita sendiri. Akan tetapi, kalau mau menunggu persoalan kita selesai, ya kapan selesainya ? Coba diingat-ingat, euforia ketika lulus kuliah akan disambut oleh kegetiran menghadapi realita lapangan pekerjaan yang sulit. Ketika sudah bekerja, kita akan dibebani oleh tuntutan ini dan itu, seterusnya, seterusnya. Jelaslah sudah, kalau kita beralasan mau berempati ketika persoalan yang dialami sudah selesai, maka makna kata empati itu sendiri dikhawatirkan akan terlanjur menghilang dari muka bumi.

Kita sebenarnya sudah cukup dipermudah di zaman digital seperti saat ini. Isu kesehatan mental semakin mendapatkan perhatian. Setiap orang mulai bersuara mengenai pentingnya peduli terhadap kesehatan mental manusia lain. Kita sudah mulai akrab dengan istilah depresi, skizophrenia, dan lain sebagainya. Penyebaran informasi terkait isu kesehatan mental juga semakin dimudahkan dengan metode praktis, yakni screencapture lalu unggah. Nah, kalau sudah begini, kita sebagai makhluk Tuhan yang hidupnya terkoneksi dengan individu-individu lain, sudah sewajarnya perlu memiliki kemampuan berempati. Terlebih pada saat ini, ketika pandemi melanda dan kita rentan dengan kerandoman, perasaan gundah, dan kesulitan.  

Empati secara sederhana diartikan sebagai suatu kemampuan untuk dapat memposisikan diri dalam perspektif orang lain, khususnya ketika orang tersebut mengalami distres emosional. Dilihat dari pengertiannya, kok ya berasa gampang ya untuk merasakan kesulitan orang lain ? Gampang bagi orang yang hidupnya juga sama jomblonya, sama gagalnya, sama pengangguranya, ya tho ?

Akan tetapi, sayang, dewasa ini implementasi empati ternyata belum sepenuhnya bisa tercapai. Alih-alih berempati, kita justru sering abai untuk melakukan aktivitas paling mendasar, yaitu mendengarkan. Kesalahan cara dalam mendengarkan bahkan berisiko terjadi pada kita yang merasa memiliki hidup yang sama suramnya. Mungkin karena, ya tadi ya, kita juga merasa pernah berada di posisi yang sulit, jadi ya mendengarkan kesusahan orang lain bukan lagi sesuatu yang baru. 

Pikiran seperti itu sesungguhnya adalah jebakan bagi diri kita. Jebakan yang menghalangi kita untuk dapat merefleksikan diri melalui sudut pandang orang lain. Padahal kan, siapa tahu setelah selesai mendengarkan kegundahan orang lain, kita malah mendapatkan insight untuk dapat menyelesaikan persoalan yang kita hadapi. Salah satu contoh keliruan adalah ketika kita memberikan respon terhadap curhatan teman dengan kembali menceritakan kesulitan yang dialami, seperti

 "Lebih mendingan kamu, aku malah lebih menderita karena...." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun