Mohon tunggu...
Agi Rahman Faruq
Agi Rahman Faruq Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nakalnya Aku

28 Maret 2019   23:44 Diperbarui: 29 Maret 2019   05:48 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: abdulmuinhafied.com

Cirebon menjadi labuhan keluargaku untuk memperbaiki (sandang, pangan, dan papan). Kami sekeluarga harus hijrah dari Majalengka (Desa Nagara Kembang) dan menetap di Cirebon, kota yang terkenal dengan sebutan "Kota Udang". 

Kota Cirebon dekat dengan garis pantai, hanya butuh waktu kurang lebih 15 menit untuk dapat melihat ombak laut. Pada Tahun  95-an kami sekeluarga memulai berinteraksi sosial dengan kehidupan masyarakat Cirebon, dan tak butuh waktu lama masyarakat Cirebon menerima kami.

Ayahku bisa dibilang aktif dalam kegiatan masyarakat, mulai dari ikut dalam pengajian di Masjid Al-Hikmah sebagai icon cabang organisasi Persis kota Cirebon. Ayahku bukan seseorang yang penting disana, karena beliau hanya ingin terus mencari ilmu dan menjahit rasa persaudaraan. 

Ayahku hanya bekerja sebagai penjual pakaian di pasar Perumnas Kota Cirebon, dan bukan lulusan sekolah SMP ataupun SMA seperti sekarang. Ayahku pernah berkata "Jika ingin menjadi pengusaha, harus banyak-banyak silaturahmi dan berbuat baik kepada orang".

Entah apa maksudnya, aku tidak mau mendalaminya secara mendalam. Aku hanya sedikit mengambil intisarinya, "berbuat baik" itu saja yang baru aku bisa terapkan. Ayah tidak pernah menginginkan aku menjadi seorang pegawai, Ayah ingin aku menjadi seorang yang dapat merubah kehidupan seseorang. Beliau memaksa menguras keuanganya demi pendidikanku. Aku masih ingat betul, warisan Kakek dia habiskan untuk biaya pendidikanku.

Cirebon bagi Ayahku tempat yang cocok agar aku dapat menerima culture Jawa juga Sunda. Jikalau masalah belajar kebudayaan, Ayahku paling jago. Betapa tidak, beliau mampu memakai bahasa Cirebon tanpa menghilangkan suara Sundanya. Sedangkan aku yang hidup dengan berbagai ekosistem pendidikan, tidak mampu mengejar hal yang dimiliki Ayahku.

Aku tidak mampu mengambil hati masyarakat dengan culture yang berbeda. Aku juga belum memiliki pengalaman organisasi yang dimiliki beliau. Buku bacaan beliau sungguh sangat banyak dari buku bertema Politik, Agama, bahkan buku-buku sejarah. 

Buku itu hadir saja di ruang keluargaku, tanpa tahu darimana asal-usul buku tersebut. Kadang aku menggarukan kepala, Ayahku ingin menjadi apa? Sudah saja fokus berdagang, tanpa harus memikirkan hal-hal lain yang memang tidak akan dipakai  oleh "masyarakat biasa".

Aku lupa hari apa itu, namun aku ingat kejadiaan tersebut ketika aku duduk dibangku kelas 2 SMP. Ayahku tiba-tiba saja mengajakku ke toko Gramedia di daerah Kota Cirebon. 

Lalu beliau mengambil 2 buku dan membelinya, setalah sampai dirumah aku disuruh membukanya. "Buku apa ini?" sontak aku mulai mengerutkan dahiku, kalian tahu itu buku apa? Buku yang pertama bertemakan sejarah perang dunia k 2, sedangkan buku yang satu lagi tentang Holocaust Nazi. Waktu itu mungkin ada promo atau apalah, saya mendapatkan 2 poster karena membeli buku tersebut. Poster pertama bergambar Hitler, dan satu lagi bergambar tokoh-tokoh dalam perang dunia ke-2.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun