Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Sesungging Senyum Bahagia dari Seorang Pekerja Biasa

4 Maret 2021   14:47 Diperbarui: 4 Maret 2021   14:57 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar : www.instantoffices.com

Hampir setiap motivator, praktisi, dan para pakar di masing-masing bidang menyerukan urgensi untuk mencapai level terbaik dalam setiap aktivitas yang dijalani. Menjadi pemenang adalah gagasan yang diusung dimana setiap diri kita dituntut untuk lebih unggul daripada yang lain. Iklim kompetisi, persaingan, dan perebutan posisi bergengsi untuk menempati urutan tertinggi dalam ranking peringkat merupakan misi besar yang hendak ditanamkan dalam benak setiap orang. Bahkan mindset ini sudah sejak lama ditanamkan bahwa "haram" hukumnya untuk menjadi sosok yang biasa-biasa saja atau rata-rata.

"Menjadi pekerja dengan kategori biasa-biasa saja atau pada umumnya seseorang mungkin tidak akan terlihat seistimewa mereka yang mampu mengukir capaian luar biasa dalam karir pekerjaan. Namun itu bukan berarti seseorang yang tampak biasa tidak memiliki sisi keunggulan sama sekali. Bisa jadi sebuah senyuman lebih gampang tersungging oleh para pribadi rata-rata ini."

Kita senantiasa diseru untuk menjadi yang terbaik dalam segala hal karena dengan begitu puncak dari pencarian kebahagiaan bisa diperoleh. Dalam pekerjaan, memiliki jabatan tinggi adalah suatu kebanggaan. Demikian halnya memiliki gaji besar disinyalir merupakan salah satu sebab seseorang mencapai kebahagiaan. Sehingga normalnya untuk mencapai suatu titik kepuasan maksimal perlu kiranya seseorang untuk memenangi "perlombaan"-nya terlebih dahulu. Padahal tidak bisa dipungkiri dalam paradigma persaingan dan kompetisi hanya ada segelintir pihak saja yang menikmati jatah keunggulan tersebut daripada yang lain.

Mengambil referensi di suatu organisasi, umumnya hanya beberapa orang saja yang mendapatkan kesempatan untuk berada pada jabatan lebih tinggi daripada yang lain. Dimana semakin keatas struktur jabatan organisasi maka "kursi" yang tersedia juga semakin terbatas. Apabila keunggulan bersaing senantiasa terkait dengan peringkat maka akan selalu ada pihak yang tersisih.

Jika mengacu pada peta persebaran populasi menggunakan distribusi normal (bell curve) dengan mean 95% maka kita akan melihat kecenderungan dimana ada sekitar 2.5% populasi yang kurang dari rata-rata persebaran serta ada 2.5% lagi yang lebih dari rata-rata. Sedangkan jika menggunakan sebaran data 99.7% maka akan ada masing-masing sekitar 0.15% yang kurang ataupun lebih dari tingkat persebaran yang ada.

Ilustrasi gambar : Kurva Pola Distribusi Normal
Ilustrasi gambar : Kurva Pola Distribusi Normal
Meminjam istilah dari buku yang ditulis Malcolm Gladwell, prosentase 2.5% dan 0.15% atau mungkin prosentase lain diluar batas bawah atau atas sebaran normal inilah yang disebut sebagai "outlier". Bedanya, yang satu outlier bawah, sedangkan yang lain outlier atas. Apabila dicontohkan dalam kasus persebaran data ekonomi penduduk maka prosentase 2.5%, 0.15%, atau yang sejenis dengan hal itu adalah mereka yang termasuk sebagai kelompok "amat sangat miskin sekali" serta "amat sangat kaya sekali". Mereka adalah kelompok minoritas yang mungkin terabaikan atau sebaliknya sekumpulan minoritas yang memiliki pengaruh besar terhadap mayoritas. Seandainya diambil contoh figur maka outlier bawah adalah para penduduk miskin di pesisir benua Afrika yang mengalami busung lapar atau problem sejenis lainnya. Sementara untuk outlier atas kita bisa menyebut sosok-sosok seperti Bill Gates, Jeff Bezos, Elon Musk, serta para konglomerat lain. Singkat kata, menjadi kelompok biasa-biasa saja sebenarnya merupakan bagian dari sunnatullah yang dialami sebagian besar populasi. Sehingga daripada menyesalinya maka alangkah lebih baik mencari cara untuk menikmatinya.

Kesempatan yang Sama untuk Bahagia

Dalam aktivitas pekerjaan pola persebarannya sebenarnya bisa dibilang tidak jauh berbeda. Ada sekumpulan pekerja kelompok "papan atas", ada sekelompok pekerja berkategori "papan bawah", serta sebagian besar sisanya merupakan kelompok rata-rata atau "papan tengah". Pengajaran tentang upgrade diri senantiasa ditujukan agar seseorang masuk menjadi bagian dari kelompok papan atas dimana mereka ini adalah sosok-sosok yang memiliki kualifikasi unggul. Selain itu, concern yang juga tidak kalah pamor adalah pada kelompok "ekstrim bawah" yang sebisa mungkin diberikan treatment sedemikian rupa sehingga membaik kondisinya. Mengapa hanya kelompok ekstrim atas dan ekstrim bawah saja yang selalu diutamakan? Dalam prinsip pareto kita mengetahui bahwa skala prioritas itu penting dalam menuntasksn suatu persoalan. Sehingga kelompok terekstrim inilah yang sekiranya perlu diberikan atensi lebih dulu daripada yang lain.

Bahkan mungkin kita sudah tidak asing lagi dengan pameo, "Kalau mau jadi baik ya baik sekalian. Tapi kalau jadi jelek yang jelek sekalian.". Kalau mau menjadi artis dengan fans banyak opsinya hanya dua, tampan banget atau sangat jelek. Kira-kira seperti itu guyonan yang bisa menggambarkan bahwa para "ekstrimis" akan selalu memiliki kesempatan diperhatikan lebih daripada yang lain. Sama halnya dengan menjadi anak terpandai di kelas, terbodoh, ternakal, terkreatif, dan lain sebagainya. Pada intinya mereka yang "ter" adalah yang istimewa dan paling sering dibicarakan. Lantas apakah ini berarti bahwa kita yang masuk dalam kelompok rata-rata hanya bisa menjadi penonton saja?

Kelompok rata-rata umumnya adalah mereka dengan jumlah dominan dari setiap aspek kehidupan. Inilah kelompok mainstream yang "menguasai" peta distribusi persebaran. Meskipun sejatinya konteksnya sangat beragam. Seseorang bisa saja menjadi rata-rata untuk suatu kategori, namun bisa menjadi bagian dari kelompok ekstrim untuk kategori yang lain. Sayangnya, menjadi kelompok mainstream terkadang dianggap belum cukup untuk mencapai level keunggulan pribadi, yang ujung-ujungnya juga perihal menggapai kebahagiaan. Sebenarnya tidak jadi soal saat ini kita berada di jajaran yang mana karena yang terpenting adalah bagaimana kita tetap bisa menikmati kondisi yang  dimiliki saat ini.

Adakah yang istimewa dengan menjadi bagian dari kelompok general yang mendominasi persebaran? Bukankah seseorang harus menjadi spesial agar mampu menonjolkan dirinya daripada yang lain? Tidak mungkinkah kita yang golongan rata-rata untuk bisa merengguk keuntungan yang sama besarnya dengan mereka yang ditakdirkan lebih "populer" dari yang lain? Apakah menjadi pribadi yang tersisih adalah suatu nasib "buruk" yang tidak bisa kita hindari? Tidak bisakah setiap pribadi seseorang dengan standar kemampuannya masing-masing untuk merengkuh kenikmatan yang didamba tanpa harus mengupayakan dirinya sebagai pribadi yang mengungguli serta menyisikan pribadi yang lain?

Semestinya bisa. Dalam hal ini mungkin kita perlu menarik satu titik kesamaan yang menjadi orientasi semua orang. Tidak peduli dia adalah seorang penarik becak, pengamen jalanan, eksekutif perusahaan ternama, artis papan atas, atau bahkan tukang sapu di pinggir jalan semua berhak untuk merasakan bahagia. Sebuah kebahagiaan yang dicapai bukan dengan cara "memindahkan" dirinya dari orbit kehidupannya sekarang. Melainkan meraih bahagia dengan segala atribut kondisi yang melekat pada diri kita saat ini. Seorang tukang becak bisa berbahagia dengan status tukang becaknya tanpa harus mengupayakan dirinya menjadi bos perusahaan ternama. Seorang pekerja biasa tetap memiliki kesempatan yang sama untuk berbahagia tanpa harus menjadi juragan tanah terlebih dahulu. Ibarat kata, bahagia bisa diraih dengan "perlengkapan ala kadarnya".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun