Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menakar Kemungkinan WHO sebagai Alat Propaganda Global

15 Mei 2020   11:02 Diperbarui: 15 Mei 2020   10:54 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo WHO di pintu utama kantor pusat di Jenewa, Swiss | Sumber gambar: bisnis.com/Bloomberg/Stefan Wermuth

Nama Badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) beberapa waktu terakhir begitu "populer" bagi segenap penduduk dunia. Terutama pasca pandemi COVID-19 mengemuka. Bukan hanya para akademisi, praktisi, atau pelaku birokrasi yang familiar dengan organisasi ini, bahkan para awam pun sudah tidak "canggung" lagi menyebut namanya.

Wajar, mengingat WHO merupakan organisasi skala global yang memiliki atensi terkait isu-isu kesehatan internasional. WHO pula yang menetapkan status persebaran virus corona COVID-19 sebagai pandemi. Dan WHO juga yang memberi nama virus ganas ini dengan sebuatan COVID-19.

Selain itu, negara-negara di dunia dalam melakukan tindakan penanganan pandemi COVID-19 juga mengacu pada standar yang ditetapkan oleh WHO. Apabila standar yang ditetapkan oleh WHO tepat, maka tindakan yang diambil setiap negara juga akan tepat. Begitu pula sebaliknya.

Terlepas dari peran WHO dalam mengomandoi penanggulangan pandemi COVID-19 di dunia, ternyata baru-baru ini organisasi kesehatan dunia tersebut telah membikin jengkel Indonesia. Bersama dengan Malaysia, Indonesia menjadi "korban" rekomendasi menyesatkan terkait sawit. Dalam infografis yang dibuat oleh WHO, mereka menganjurkan masyarakat dewasa agar tidak mengonsumsi makanan yang mengandung "saturated fats" (lemak jenuh) seperti minyak sawit dan minyak kelapa.

"Do not eat saturated fats", demikian rilis informasi anjuran yang dibuat oleh WHO. Tak ayal hal itupun membuat Indonesia selaku salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia meradang. Protes keras pun dilontarkan kepada WHO karena Indonesia telah menjadi sasaran kampanye menyesatkan oleh salah satu lembaga kesehatan yang "katanya" paling kredibel di dunia. Meski kemudian WHO merevisi anjurannya tersebut menjadi "Eat less saturated fats", tapi hal ini bukan pertama kalinya Indonesia menjadi "sasaran" tindakan "ngasal" dari WHO.

Sebelumnya pada sekitar medio Januari 2019, WHO juga menyebut bahwa industri sawit memberikan dampak negatif kepada manusia seperti halnya industri tembakau dan juga alkohol. Lebih parahnya, WHO hingga kini pernah meralat pernyataannya tersebut.

Sawit merupakan komoditas sensitif karena memegang peranan vital bagi perekonomian Indonesia. Mengusiknya sama artinya dengan mengajak ribut. Sesuatu yang sebelumnya sudah kita tunjukkan kepada Uni Eropa (UE) yang melarang komoditas sawit kita masuk ke negara-negara anggota UE. Indonesia yang berang dengan sikap UE memberikan aksi balasan melarang ekspor nikel ke eropa. UE kelimpungan.

Sebagai sebuah organisasi global, setiap "petuah" WHO pasti sangat berdampak luas. Bisa berdampak baik atau sebaliknya berdampak buruk. Gegara kampanye "sesat" WHO terkait sawit, bukan tidak mungkin hal itu akan menggerus angka penjualan produk sawit kita ke dunia internasional.

Lalu bagaimana seandainya WHO memang memiliki peranan terselubung dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan negara di dunia? Bagaimana jika arahan WHO terkait penanganan pandemi COVID-19 di dunia ternyata justru bermasalah? Bagaimana jika standar pengujian virus corona COVID-19 menyalahi kaidah ilmu pengetahuan yang seharusnya?

Dampaknya mungkin akan sangat besar. Kita mungkin akan berprasangka bahwa kekacauan dunia akibat COVID-19 terdapat andil WHO didalamnya. Bagi sebagian orang yang meyakini akan kisah konspirasi, WHO dituding menjadi alat propaganda yang sangat mumpuni.

Mungkinkah WHO memiliki peran semacam itu? Benarkah WHO tak lebih dari sekadar alat propaganda global? Jika menilik kasus yang dialami oleh Indonesia terkait minyak sawit, maka kemungkinan ke arah itu bisa saja ada. Rekomendasi WHO bisa menjadi "dalih" suatu negara untuk "menyerang" negara lain. Negara-negara yang menjadi konsumen minyak sawit asal Indonesia bisa melakukan pembatalan kerjasama atas dasar rekomendasi ini. Bukankah ini sangat merugikan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun