Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker & Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

"Check Point" PSBB Bukanlah Razia Polantas

16 April 2020   15:17 Diperbarui: 16 April 2020   15:09 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang terlintas dalam benak kita saat membicarakan tentang razia? STNK, jalan raya, polisi, denda, tilang, adu mulut, dan sejenisnya. Beberapa hal itulah yang mungkin menjadi top of mind masyarakat dalam kesehariannya yang bergulat dengan rutinitas di jalanan. Setiap kali berpapasan dengan petugas kepolisian, khususnya polisi lalu lintas maka yang hampir terngiang saat itu adalah razia kelengkapan surat atau atribut berkendara.

Sejak pandemi COVID-19 melanda Indonesia, aturan interaksi sosial kini sudah mencapai tahap Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Saat pemberlakuan kebijakan tersebut dirasa masih belum efektif menekan laju sebaran COVID-19, maka satu upaya yang hampir pasti menjadi sorotan adalah perihal penegakan kedisiplinan masyarakat.

Aturan-aturan PSBB seperti keharusan menggunakan masker di tempat umum, menjaga jarak, jumlah maksimal penumpang dalam satu mobil, dan lain sebagainya dalam beberapa kesempatan masih dianggap remeh. Sehingga langkah penegakan disiplin pun coba dilakukan aparat terkait seperti mengadakan check point di beberapa pot-pot yang menjadi pusat  mobilitas masyrakat, khususnya yang menggunakan kendaraan pribadi seperti sepeda motor ataupun mobil.

Check point PSBB bagi sebagian orang mungkin dianggap sama dengan razia. Namun sebenarnya anggapan ini kurang tepat. Check point merupakan sebuah upaya sosialisasi yang dimaksudkan untuk mengingatkan masyarakat tentang arti penting mengikuti aturan-aturan PSBB. Karena bagaimanapun juga PSBB memiliki niatan baik terkait upaya meredam persebaran virus corona.

Peristiwa todong pisau yang dilakukan oleh salah seorang pensiunan militer karena tidak senang dirinya diberhentikan oleh petugas check point merupakan gambaran bahwa kita masih menganggap penegakan kedisiplinan PSBB sebagai bentuk razia terhadap masyarakat. Semestinya antara petugas check point dan warga yang mendapatkan teguran harus saling memahami posisi masing-masing. Semua bisa dibicarakan dengan baik apabila dirasa ada ketidaksesuaian dari masing-masing pihak.

Alasan Pelanggaran dan Kebijakan Tepat Sasaran

Beberapa orang yang "tertangkap" melanggar peraturan PSBB seperti tidak menggunakan masker di wilayah Jakarta Selatan mendapatkan surat teguran dari polisi. Petugas kepolisian juga menyatakan bahwa surat teguran tersebut bukanlah surat tilang. Berbeda kasus. Persepsi inilah yang harus kita coba luruskan bersama.

Temuan pelanggaran PSBB hendaknya tidak hanya menjadi "arsip" informasi atau rekapitulasi laporan penegakan kedisiplinan selama PSBB. Setiap temuan harus di-follow up dan dikaji lebih dalam terkait sebab musebabnya. Seperti yang terjadi di check point kawasan Jakarta Selatan bahwa pelanggaran terbanyak adalah tidak menggunakan masker.

Dalam hal ini masyarakat yang melanggar sebenarnya bukannya tidak mengenakan masker. Mereka memakai masker sekali pakai dan beberapa jam kemudian dibuang. Warga beralasan mereka tidak punya cukup uang untuk membeli kembali masker. Alasan ekonomi. Ini yang mesti dibaca oleh para petugas terkait.

Mencari penyebab dasar suatu pelanggaran PSBB akan jauh lebih berguna ketimbang sekadar merekap jumlah pelanggaran. Melalui tindakan ini kita menjadi tahu tindakan apa yang sekiranya patut untuk dilakukan sehingga pelanggaran serupa tidak berulang. Alasannya perlu kita kaji, motivasinya perlu kita kulik, dan urgensinya perlu kita usut kembali.

Hal ini perlu agar kebijakan yang diberlakukan tidak menjadi sesuatu yang aneh untuk diterapkan. Seperti larangan berboncengan kepada semua orang. Padahal bisa jadi ada pasangan suami istri, orang tua anak, atau kakak beradik dalam sebuah keluarga satu rumah yang melakukannya. "Memisahkan" mereka dijalan raya tetapi kemudian mereka akhirnya juga bersama kembali di rumah tentu terasa sangat aneh. Lebih baik memastikan terlebih dahulu agar kebijakan-kebijakan yang diberlakukan benar-benar menyasar secara tepat untuk meredam persebaran COVID-19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun