Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Eksplorasi Berita Duka Coronavirus demi "Clickbait", Patutkah?

1 April 2020   07:40 Diperbarui: 1 April 2020   07:52 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang membuat pandemi coronavirus terasa sangat menakutkan dan membuat panik banyak orang? Laju infeksi yang cepat serta banyaknya angka kematian. Namun, mana yang lebih besar antara jumlah korban yang sembuh dengan korban yang meninggal? 

Dalam skala internasional, jumlah korban yang sembuh ternyata jauh lebih besar ketimbang mereka yang meninggal dunia. Mungkin untuk kasus Indonesia cukup berbeda dimana mereka yang meninggal dunia lebih besar daripada yang sembuh. 

Setidaknya berdasarkan angka yang terkonfirmasi. Hanya saja satu hal yang patut diperhatikan disini adalah bahwa korban yang terinfeksi masih memiliki kesempatan untuk sembuh dan melanjutkan hidup seperti sediakala.

Lebih memberikan porsi pemberitaan untuk kabar duka daripada suka cita memang berpotensi menyedot atensi lebih banyak orang. Ungkapan "bersiap untuk yang terburuk" barangkali telah meresap kedalam benak kita sehingga hal-hal paling negatiflah yang justru menjadi atensi kita. Bukan sebaliknya. 

Hal ini kemudian menjadi "peluang" besar dalam hal pemberitaan media. Media yang memberitakan kabar kondisi terburuk cenderung menarik minat publik untuk memperhatikan. Mengapa? Karena mereka ingin menghindari situasi semacam itu terjadi pada dirinya atau keluarganya. Lebih banyak berita duka dengan "kemasan" menghimbau kewaspadaan masyarakat sudah menjadi sesuatu yang jamak terjadi.

Dan sebagian dari kita sepertinya merasa itu semua sah-sah saja dilakukan. Bahkan kita merasa pemberitaan itu baik karena memantik kewaspadaan kita.

Akan tetapi tidak sadarkah kita bahwa setiap kali ada berita coronavirus yang mengabarkan adanya kematian korban terinfeksi, atau penolakan pemakaman oleh warga bagi korban meninggal karena virus corona, atau penolakan masyarakat terhadap dokter dan perawat yang menangani pasien corona semua itu semakin membangun pemahaman bahwa semua situasi telah sangat buruk. 

Parno, panik, dan takut. Mungkin beberapa kata itu bisa mewakili pandangan kita terkait coronavirus. Seakan tidak pernah ada kabar baik samasekali. Padahal selalu ada harapan bagi mereka yang tidak pernah berputus asa.

Pertanyaannya sekarang, mengapa media lebih cenderung mengabarkan berita dengan situasi terburuk? Kalaupun tidak semua pemberitaan membawa kabar buruk, setidaknya proporsinya jauh mengungguli kabar baiknya. Bayangkan otak kita setiap hari disuplai dengan kabar buruk demi kabar buruk. 

Lahirlah sebuah frustasi. Terutama bagi mereka yang tidak mampu melakukan filter terhadap setiap berita yang ia terima. Saya curiga proporsi tidak seimbang ini terjadi demi satu alasan klise, clickbait. Semakin menarik simpati sebuah berita, maka semakin membuat penasaran orang untuk menyimaknya. Ada kepentingan komersil yang bermain disini.

Mungkin yang turut berperan menyajikan informasi semacam ini kita merupakan salah seorang diantaranya. Kita yang suka menyebar informasi dengan muatan kabar buruk bisa jadi turut andil dalam memperkeruh suasana. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun