Data kementerian yang dipublikasikan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2017 lalu menyebutkan bahwa penyakit jantung menduduki urutan kedua setelah stroke sebagai penyebab kematian tertinggi. Dengan kata lain, kebiasaan merokok memberikan "kontribusi" yang cukup besar terhadap angka kematian akibat penyakit di Indonesia.
Namun hal ini sepertinya masih sering disepelekan oleh masyarakat kita, terutama oleh mereka dari kalangan perokok berlatar ekonomi kurang mampu. Peringatan yang ada sering dianggap sebagai angin lalu.Â
Mereka baru benar-benar memahami bahaya rokok setelah terbaring sakit, dengan kondisi yang sudah terlambat. Memang benar bahwa kematian itu sepenuhnya kehendak Sang Mahakuasa. Hanya saja kita patut berusaha agar tetap sehat. Salah satunya dengan mengurangi atau bahkan berhenti dari mengonsumsi rokok.
Bukan perkara mudah memang untuk berhenti dari kebiasaan merokok. Apalagi saat hal itu didasarkan pada pemahaman untuk menekan pengeluaran atas semua kebutuhan secara ekonomi. Lebih berbahaya lagi ketika kebiasaan merokok itu memang sengaja dipertahankan dengan maksud serupa.Â
Keluarga atau kerabat terdekat mesti mampu memberikan keyakinan bahwa merokok itu sebenarnya justru mematik kerugian dan pengeluaran ekonomi yang lebih besar. Biaya berobat untuk membayar dokter spesialis jantung atau paru-paru tentunya tidak murah. Dan itu harus kita bayarkan saat kondisi penyakit akibat rokok sudah semakin parah. Sayang seribu sayang.
Salam hangat,
Agil S Habib