Setiap agama dan kepercayaan memiliki konsep mengenai akhir zaman dan akhir dunia, dari berbagai konsep itu ada konsep yang cukup menarik dari agama Hindhu dan Katolik. Senada namun tak seirama, itulah yang menggambarkan dua konsep dari dua kepercayaan tadi.
"Suara sangkakala itu tidak lain adalah Sang Putera Allah yang turun ke dunia untuk menjadi Hakim" (St. Gregorius Magnus)
Maha Pralaya
Maha Pralaya, istilah yang tak asing lagi saat kita mempelajari sejarah bangsa ini. Tersusun atas dua kata dalam bahasa Sansekerta yang memberi arti suatu bencana yang sangat besar atau bisa dikatakan sebagai kiamat. Maha berarti besar sedangkan Pralaya berarti malapetaka atau bahaya. Pada perkembangannya, khususnya di Indonesia, istilah ini sering digunakan untuk menyebut masa kehancuran kerajaan-kerajaan besar, di Jawa khususnya. Sebut saja peristiwa meletusnya Gunung Merapi pada masa pemerintahan Rakai Wawa, diindikasikan sebagai Maha Pralaya bagi Kerajaan Mataram Kuno dan masih banyak lagi peristiwa sejenis.
Konsep Maha Pralaya ini mirip dengan istilah akhir zaman atau hari kiamat dalam dunia modern sekarang ini. Walau demikian Maha Pralaya ini bukanlah suatu akhir tanpa awal, sebab Maha Pralaya menjanjikan suatu masa baru setelah lerep atau istirahat dalam suatu siklus. Intinya Maha Pralaya hanyalah masa "istirahat" bagi dunia untuk kemudian memulai siklus yang baru. Masa istirahat bagi dunia itu diisi dengan berbagai macam tindakan pengosongan, pemusnahan dan pembersihan sehingga dunia siap dibangun kembali. Akhir dari satu siklus itu ditandai juga dengan munculnya tokoh eskatologis yaitu Kalki Avatara, yang merupakan avatara Wisnu yang terakhir. Pralaya menurut kepercayaan Hindhu dibagi menjadi empat, yakni Prakritika Pralaya, Naimittika Pralaya, Atyantika Pralaya, Nitya Pralaya. Keempat jenis pralaya ini termuat dalam kitab Wisnu Purana dan Agni Purana.
Parousia
Meski senada namun tidak seirama antara Maha Pralaya dengan akhir zaman/Parousia. Kata Parousia berasal dari bahasa Yunani yang artinya "Kehadiran". Akhir zaman atau istilah teologisnya Parousia, dalam pandangan agama Katolik merujuk pada saat kedatangan kembali Yesus Kristus ke dunia untuk kedua kalinya dalam kemuliaan. Memang rentetan peristiwa akhir zaman itu ditandai dengan kehancuran bumi dan segala aspek didalamnya, namun alih-alih menghancurkan kedatangan-Nya untuk yang kedua ini lebih bertujuan untuk mengadili bangsa-bangsa dan untuk menegakkan "kerajaan-Nya" yang sejati.
"Kalau saja aku berhenti bekerja, maka dunia ini jatuh dalam kemusnahan dan aku akan menjadi sebab dari kekacauan hidup dan menghancurkan semua mahluk" (Bhagavadgita III.24)
Dalam iman Kristiani dipercaya bahwa “masa akhir” ini dimulai ketika peristiwa Kenaikan Isa Al-Masih. Menjelang hari Parousia akan banyak muncul hal-hal yang menghancurkan, kekacauan, terlebih lagi kesesatan yang dibawa oleh Antikristus. Para umat beriman selalu diimbau agar tetap setia karena pada masa-masa itulah akan ada banyak kesesatan yang menghantar manusia pada kehancuran. Realita bahwa akan terjadi Parousia ini pun selalu disegarkan dalam benak umat saat merayakan peristiwa Natal, bahwa Yesus akan datang lagi bukan sebagai bayi manis yang lahir dalam kandang melainkan sebagai seorang Raja yang bersemarak gemilang.Kapan dan dimana akan terjadi Parousia hanya Allah Bapa sendiri yang tahu, Yesus sendiri yang juga adalah Allah pun tidak mengetahui saat itu.
Lantas Apa?
Ditengah dunia modern dan gerusan pikiran materialistis, kenyataan yang bersifat eskatologis (akhir zaman) semacam ini hanya dianggap angin lalu, bahkan dicondongkan pada sebuah fiksi tradisional yang sungguh tak rasional. Problematika ini merupakan buah dari pikiran modern yang ambisius yang kebanyakan dimiliki oleh sebagian besar orang dewasa ini. Rasa ambisius itulah yang kemudian menutup mata religius dari manusia, yang sekarang ini lebih menyukai hal-hal yang bisa dijelaskan dengan pasti oleh teori dan akal budi. Namun perlu diketahui juga bahwa setiap beberapa puluh tahun atau bahkan dalam hitungan abad bumi selalu mengalami bencana besar yang memakan banyak korban bahkan bisa menyapu separuh dari populasi manusianya. Tak usah jauh-jauh seperti peristiwa black death, flu Spanyol atau yang lainnya, pandemi Covid-19 yang sampai saat ini masih ada merupakan contoh nyatanya. Tak menutup kemungkinan bahwa suatu saat akan terjadi peristiwa semacam itu yang lebih besar dan lebih menghancurkan, dan bisa jadi itulah saatnya. Dan karena yang tahu kapan itu akan terjadi hanyalah Tuhan atau bagi yang atheis ialah keadaan, maka manusia hanya bisa berjaga-jaga menantikannya. Intinya jangan terlalu terlena hidup di dunia sebab akan ada saatnya dimana akhir akan terjadi. Apapun yang tercipta akan memiliki akhir di penghujung sana.