Mohon tunggu...
Agata auditya putra
Agata auditya putra Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

"Tertutup , Terbuka saat Mandi "

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Demo Gejayan Memanggil 2: Implikasi Terjadinya Kekerasan terhadap Empat Jurnalis

26 April 2021   13:26 Diperbarui: 26 April 2021   13:31 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber :Liputan6.com

Tepat pada bulan September tahun 2019 lalu terdapat kasus kekerasan terhadap empat orang jurnalis yang berasal dari Kompas.com dalam aksi Gerakan “Gejayan Memanggil 2” yang salah satu diantaranya adalah Nibras Nada Nailufar. Nibras pada saat itu diintimidasi dalam kegiatannya merekam perilaku polisi yang melakukan kekerasan terhadap seorang warga di kawasan Jakarta Convention Centre. Ada juga beberapa polisi yang melarang korban untuk tidak merekam gambar dan memaksanya menghapus rekaman video kekerasan tersebut. Selain itu, kekerasan juga dialami oleh Vanny El Rahman, jurnalis dari IDNTimes. Beliau pada saat itu dipukul dan diminta untuk menghapus foto dan video rekamannya yang berisi kekerasan yang dilakukan oleh polisi terhadap para demonstran. Hal ini menandaskan bahwa negara telah gagal merawat demokrasi karena menyerang kebeasan berpendapat dan berekspresi (Maharani, 2019).

Selain mahasiswa, gerakan Gejayan Memanggil 2 yang digelar di kawasan Gejayan, Yogyakarta juga diikuti oleh Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Yogya. Mereka datang untuk menyuarakan kecaman atas berbagai bentuk kekerasan dan kriminalisasi terhadap jurnalis yang terjadi selama beberapa waktu belakangan ini. Kekerasan menimpa sejumlah jurnalis ketika meliput puluhan ribu mahasiswa dan aliansi masyarakat sipil yang menggelar aksi demonstrasi di depan gedung DPR, Jakarta Selatan, Selasa, 24 September.

Kasus kekerasan terhadap wartawan setiap harinya semakin meningkat hal ini dibuktikan dengan kurangnya kepastian hukum yang didapat oleh para wartawan. Harus ada kepastian dan keadilan pada profesi wartawan karena wartawan sebagai pelaksana Hak Asasi Manusia, khususnya dalam Pasal 19 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia di tulis bahwa Hak asasi manusia adalah hak yang harus di penuhi pada manusia. Dalam hal ini pemerintah seharusnya mengedepankan hak-hak yang dapat melindungi jurnalis dalam bertugas. Tugas berat yang diemban seorang wartawan bukan semata-mata atas dasar media tetapi juga atas dasar kemanusiaan demi penyebaran hal-hal yang tidak dapat dilihat langsung oleh masyarakat. Berdasarkan bunyi dari Pasal 4 Ayat (4) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, disebutkan bahwa :69 “Dalam mempertanggung jawabkan pemberitaan didepan hukum, wartawan mempunyai hak tolak”. Hak tolak tersebut muncul dengan tujuan agar wartawan dapat melindungi sumber-sumber informasi yang telah diperolehnya. Dengan adanya hak tolak tersebut wartawan dapat mempunyai hak untuk melindungi kekerasan yang dilakukan kepadanya serta menolak tindakan maupun paksaan yang mengancam untuk menghapus beberapa informasi penting yang dianggap sebagai aib dari pihak-pihak yang bersangkutan.

Pers juga memiliki fungsi dalam mengayomi jurnalis maupun wartawan dalam melaksanakan tugasnya. Teori kekerasan simbolik dinilai relevan dengan kasus ini karena terdapat dua bentuk kekerasan didalamnya yakni kekerasan verbal dan kekerasan non-verbal. Kekerasan verbal pada dasarnya merupakan suatu kekerasan terhadap perasaan orang lain yang dilakukan tanpa menyentuh fisik seseorang melainkan dengan kata-kata yang mengancam, menghina, dan membesar-besarkan kesalahan orang lain (Sutikno, 2010). Kekerasan verbal dalam kasus ini dapat dilihat dari bentuk ancaman dan kecaman yang diberikan kepada jurnalis Nibras Nada Nailuifar akibat perekaman yang dilakukan saat seorang polisi melakukan tindak kekerasan terhadap warga yang mengikuti demo tersebut. Selain itu, kekerasan non-verbal pada Vanny El Rahman yakni jurnalis dari IDNTimes dengan memukul dirinya agar menghapus rekaman video kekerasan yang dilakukan para anggota polisi. Hal ini dapat terjadi karena lapisan masyarakat menganggap ada aib yang harus ditutupi dan dengan semena-mena dapat melakukan kekerasan terhadap orang lain.

 solusi yang paling tepat dalam menyelesaikan kasus diatas adalah dengan membuat beberapa peraturan yang dapat melindungi kawan-kawan media serta jurnalis demi kenyamanan bersama. Hal ini dapat diwujudkan dengan beberapa upaya atau tahapan yakni, Tahap formulasi (kebijakan legislatif), Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif), Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif). Tahapan-tahapan tersebut dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan kasus diatas. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, tentang makna menghalang-halangi wartawan, ditafsirkan dalam Pasal 4 Ayat (1-4). Beberapa pasal tersebut juga dapat ditindaklanjuti dalam pelaksanaannya agar kekerasan terhadap wartawan dapat sepenuhnya hilang.

Penulis Oleh Agata auditya putra , Mahasiswa Ilmu Komunikasi – Universitas Muhammdiyah Malang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun