Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kompasiana dan Pesaing-pesaingnya

22 November 2014   21:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:06 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

*


Lewat acara kopdar makan malam dengan sajian Angkringan selepas Nangkring Spesial Bank Indonesia di Yogyakarta awal November lalu, terungkap beberapa rencana inovasi Kompasiana sebagai media warga yang terus mengembangkan diri. Tak tanggung -tanggung, waktu itu admin Iskandar Zulkarnaen menyebutkan sudah ada rencana untuk pengembangan media warga ini hingga setidaknya dua-tiga tahun ke depan.

Peluncuran kartu komunitas berbasis BCA Flazz juga sudah disinggung waktu itu, tak ketinggalan rencana pembentukan kelompok-kelompok daerah yang berwujud akademi Kompasiana. Ada juga kabar bahwa Kompasiana kini mulai membebaskan server ya dari sang induk Kompasdotcom. Di mata saya, Kompasiana sedang tumbuh semakin lebar dan tinggi —yang menguatkan ekspektasi publik yang belakangan ini semakin tinggi. Tapi di sisi lain, mungkin juga langkah- langkah tersebut guna mengantisipasi “geliat” beberapa media pesaing yang kini juga mulai mendapat posisi di mata netizen.

Di sela-sela nangkring siang itu saya sempat berbincang dengan Bapak Ang Tek Khun, seorang kompasianer, juga pegiat bisnis penerbitan yang gemar mengamati media. Menurut beliau, keputusan Kompasiana untuk memiliki server sendiri patut disyukuri. Selain karena menggunakan teknologi komputasi awan (cloud computing) milik sebuah merek internasional, masalah server ini diharapkan memberi sedikit ruang gerak bagi admin TI untuk melakukan perbaikan tanpa melulu nunut supervisi tim induk yakni Kompascom. Akan tetapi, langkah itu bukan tanpa kekurangan.
“Bisnis media itu kejam, ada pertaruhan di dalamnya. Kalau Kompasiana gagal memberi kinerja cukup di segi konten, minat masyarakat terlebih pendapatan finansial, maka Kompascom sebagai induk dapat 'mendepaknya' sewaktu-waktu, sebagaimana terjadi pada banyak unit bisnis Kompas Gramedia lain yang umurnya pendek-pendek,” kurang lebih demikian penjelasan Pak Khun yang cukup membuat saya sampai berseru “Oh iya?”

Pendapat itu tentu bukan tanpa alasan. Saya mengamati, di kelompok Rubrikasi Kompascom sendiri, sejak diterapkannya tampilan antarmuka baru pada 29 April 2011, ada beberapa bagian fitur redaksional yang berubah, katakanlah Citizen Images yang menampung foto-foto kiriman warga dan tautannya sempat terpadu dengan laman 'home' Kompasiana, atau rubrik Oasis yang kerap menampung kiriman tulisan fiksi berupa cerpen dan puisi, kemudian dihilangkan —keputusan yang mengecewakan sang redaktur Jodhi Yudono hingga dibuatkan topik baru 'Catatan Kaki' terbit setiap Rabu/Kamis.

Apakah nasib integrasi dan pemotongan fitur-fitur dan unit kerja seperti itu juga akan berpotensi melempar kepopularan Kompasiana? Sebagai media berjenis user -generated content yang sempat menyabet “Best in Asia”, versi lembaga penilai media WAN-IFRA, dan dengan pertumbuhan jumlah akun hingga 200 setiap hari, nampaknya Kompasiana tidak terlalu dekat dengan risiko seperti itu. Akan terlalu banyak yang dikorbankan. Yang justru menarik perhatian saya adalah potensi beberapa media pesaing yang kini geliatnya makin kelihatan, dengan segmentasi baru dan sebagian inovasi yang luput ditangkap oleh tim Kompasiana. Lalu, siapa saja “para pesaing” itu?

Blogdetik


Kompasiana boleh berbangga karena kadung menjadi laman blog publik yang pertama di Indonesia, di bawah bendera sebuah media jurnalisme terbesar. Predikat “pelopor jurnalisme blog” itu tidak mungkin direbut oleh media manapun. Tetapi Blogdetik, dengan pertumbuhan media induknya Detikcom, mulai memasuki bayang-bayang.

Blogdetik yang resmi meluncur pada 2012 lalu juga membuka kesempatan terbuka kepada siapapun yang ingin menulis dan terbaca secara luas. Jumlah akun anggotanya kini sudah menyentuh angka 1.500, dengan pertumbuhan rata-rata 50 akun setiap hari. Meski nampaknya juga tak melulu fokus pada konten jurnalisme warga, Blogdetik memasarkan platform yang diusung dengan menggelar banyak lomba blog bekerjasama dengan merek-merek ternama. Dengan strategi ini, Blogdetik mulai dikenal sebagai “blog alternatif yang dapat dipakai” setiap gelaran lomba kepenulisan.

Pasangmata


Tak puas dengan platform blog publik mengikuti jejak Kompasiana, Detikcom melebarkan sayap produk jurnalisme warganya lewat jurnalisme fotografi warga. Masih lewat Pak Ang Tek Khun, saya mengetahui nama Pasangmata[dot]com, sebuah aplikasi web/Mobile yang menampung foto-foto bernilai berita kiriman warga. Dengan insentif berupa poin dan bonus penukaran hadiah pada periode tertentu, Pasangmata kini mendaftarkan setidaknya 500 akun aktif dengan aliran foto mencapai ratusan setiap harinya.

Meski masih mengadopsi moderasi konten, Pasangmata punya keunggulan karena mengabarkan berita warga berupa visual yang dapat diakses, dikomentari, dan diapresiasi sewaktu-waktu terutama di jam-jam sibuk. Rubrik bertagar #lalulintas dan #fasilitaspublik merajai konten di jam-jam kerja dan primer. Menurut pengalaman Pak Khun, Pasangmata juga mulai dilirik Pemerintah beberapa kota karena foto-foto aduan warga di sana sering memicu respon cepat dari otoritas terkait. Memanfaatkan melejitnya pemakaian aplikasi berbasis Android dan BlackBerry, saya pikir Pasangmata berhasil memanfaatkan celah “matinya” Citizen Images milik Kompascom.

Indonesiana


Yang menarik, pesang Kompasiana tidak melulu datang dari sepenuhnya pihak luar atau induk media pesaing induk lainnya. Laman media warga berbendera Tempo[dot]co, Indonesiana, kabarnya justru dibangun dan kini dikawal seorang mantan admin TI Kompasiana. Alih ilmu dan teknologi mungkin terjadi, meskipun itu wajar saja dalam persaingan korporasi media dan teknologi. Indonesiana sendiri baru beroperasi efektif akhir 2013 lalu dan kini telah berhasil “membujuk” beberapa penulis Kompasiana untuk mengisi konten di sana. Rubrikasinya menyerupai, terdapat sedikit perbedaan, tapi secara umum sama. Boleh dikatakan bahwa Indonesiana jadi media warga yang paling mirip dengan Kompasiana, selain barang tentu namanya yang juga melekatkan sufiks yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun