Mohon tunggu...
Afriyanto Sikumbang
Afriyanto Sikumbang Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Belajar mensyukuri apa yang kita miliki

Selanjutnya

Tutup

Politik

Cicak Vs Banteng

23 Januari 2020   16:05 Diperbarui: 23 Januari 2020   16:16 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kecewa, gemes, geregetan, kesal bercampur aduk menjadi satu. Itulah reaksi pemirsa ketika menonton celotehan Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean pada acara Mata Najwa di Trans7, Rabu 15/01/2020.

Opung---panggilan akrab Tumpak Panggabean---berbelit-belit dalam menjawab pertanyaan Najwa, sering ngeles dan cenderung berputar-putar. Yang menjadi senjata andalannya adalah "Kami akan memberi keputusan [mengizinkan atau tidak] 1 kali 24 jam jika ada permintaan dari KPK." Namun ketika Najwa minta penegasan bahwa Dewas memang belum memberikan izin kepada KPK untuk menggeledah kantor PDIP karena sudah berhari-hari izinnya belum keluar, Opung kembali berkilah bahwa izin dari Dewas sifatnya rahasia dan tidak bisa dibuka ke publik.

Apa yang kita lihat di Mata Najwa ini yang menghadirkan sejumlah nara sumber selain Opung, mulai membuka tabir bagaimana keberadaan KPK sekarang. Ya, dugaan orang bahwa power KPK mulai meredup mulai terbukti. Sejak disahkannya UU Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK sebagai revisi Nomor 30 tahun 2002, cara kerja KPK sudah tidak lincah lagi. Jalannya mulai tersendat dan terhalang. KPK tidak bisa lagi bebas melakukan penggeledahan dan penyadapan. KPK harus terlebih dahulu minta izin dari Dewas. KPK kini tak ubahnya seperti lembaga pemerintah yang sarat dengan birokrasi. UU Nomor 19 tahun 2019 menjadi kemenangan bagi koruptor.

Kasus OTT Komisioner KPU Wahyu Setiawan menjadi awal kehancuran KPK. Harun Masiku belum sempat ditangkap, dia keburu kabur ke Singapura. KPK juga gagal menggeledah Kantor Pusat PDIP. Alih-alih bisa masuk ke dalam, KPK malah dilaporkan oleh Tim Hukum PDIP ke Dewas KPK. Inilah drama episode perseteruan Cicak vs Banteng.

Sebutan 'cicak' sudah lama menempel pada KPK, terutama dalam perseteruannya dengan Polri. Istilah cicak vs buaya menjadi begitu populer pada tahun 2008. Saat itu KPK melakukan penyidikan (penyadapan) terhadap Kabareskrim Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji, yang diduga menerima gratifikasi dari nasabah Bank Century, Boedi Sampoerna, karena berhasil "memaksa" Bank Century mencairkan dana nasabah itu sebelum bank itu ditutup.

Tahun berikutnya (2009), Polri melakukan serangan balik. Ketika itu Polri menetapkan dua pimpinan KPK yaitu Chandra M Hamzah dan Bibid Waluyo sebagai tersangka, bahkan sempat menahan mereka berdua. Mereka diduga menerima suap dari Anggoro Widjojo, kakak dari Anggodo Widjojo dalam kasus korupsi proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu.

Perseteruan cicak vs buaya tak berhenti sampai di situ. Pada 2012 KPK menetapkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka kasus korupsi di proyek simulator ujian SIM. Polri pun membalas dengan berusaha menangkap salah satu penyidik KPK yang juga berasal dari Polri, Komisaris (Pol) Novel Baswedan. Novel termasuk salah satu penyidik KPK yang berperan penting dalam pengungkapan kasus Djoko Susilo itu. Dia juga dituduh pernah menganiaya beberapa tersangka pencuri sarang burung walet di Bengkulu tahun 2004.

Tahun 2015 pertarungan terulang lagi. Kali ini KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka kasus korupsi dan dugaan pencucian uang. Gara-gara itu, BG batal jadi Kapolri. Dan seperti biasa, giliran Polri yang melakukan serangan balasan.

Polri saat itu menetapkan Ketua KPK Abraham Samad sebagai tersangka kasus pemalsuan data kependudukan di Sulawesi Selatan pada 2007. Selain itu, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto juga dijerat dengan kasus dugaan mempengaruhi saksi dalam persidangan sengketa pilkada Kabupaten Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010.

Hingga kini perseteruan cicak vs buaya sudah memasuki episode ke-3. Mungkinkah akan ada episode ke-4, ke-5 dan seterusnya? Kita lihat saja perkembangan selanjutnya. Namun yang pasti, kasus OTT Komisioner KPU Wahyu Setiawan bukan lagi pertarungan antara cicak vs buaya, melainkan pertarungan antara cicak vs banteng.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun