Mohon tunggu...
Afif Sholahudin
Afif Sholahudin Mohon Tunggu... Konsultan - Murid dan Guru Kehidupan

See What Everyone Saw, But Did Not Think About What Other People Think

Selanjutnya

Tutup

Money

Mendudukkan Perspektif Fiqh Muamalah di Era Kapitalisme Global

26 Februari 2017   10:04 Diperbarui: 26 Februari 2017   10:19 1761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://cholidudin.wordpress.com

Fiqh akan tetap menjadi pembahasan serius di kalangan para mufakir muslim, pentingnya hal ini tidak lain agar ajaran Islam mampu bertahan hingga penghujung kehidupan. Pembahasan fiqh terus mengalami perkembangan dan perubahan sehingga tidak mudah untuk memahami fiqh secara sederhana selayaknya orang awam mempelajari Islam. Baik itu kaidah ushul maupun kaidah fiqh secara umum, semuanya berkembang semenjak di kalangan para ulama klasik hingga kontemporer. Meskipun menjadi suatu kewajaran munculnya ikhtilaf di kalangan para mujtahid, namun hal tersebut biasanya muncul hanya dalam ruang lingkup masalah cabang bukan masalah dasar. Ittifaq (kesepakatan) para ulama dalam merumuskan dasar fiqh terbentuk dalam kaidah Ushul fiqh, dan lahirnya kaidah fiqh berangkat dari kesimpulan berbagai macam aturan fiqh dalam berbagai bidang fiqh.

Setiap perbuatan seorang muslim harus terikat kepada hukum syara’. Hukum syara’ adalah seruan (khitab) Syari’ yang berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia), berupa tuntutan (al-iqtidla), penetapan (al-wadl’i) dan pemberian pilihan (at-Takhyir).[1] Sedangkan hukum syara’ yang lebih banyak diaplikasikan oleh seseorang berupa fiqh muamalah. Secara luas Fiqh Muamalah adalah aturan-aturan (hukum) Allah SWT., yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniawian atau urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial kemasyarakatan. Adapun secara arti sempit menekankan keharusan untuk menaati aturan-aturan Allah yang telah ditetapkan untuk mengatur hubungan antar manusia dengan cara memperoleh, mengatur, mengelola, dan mengembangkan mal(harta benda).[2] Mudahnya, fiqh muamalah adalah aturan Islam yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi.

Islam agama yang sempurna, bahkan seluk beluk ekonomi pun dijangkaunya. Maka benar bahwa demi kemaslahatan manusia, Islam selalu ada. Ini yang dimaksud oleh Imam asy-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat, “Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya (mewujudkan) kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.” Maslahat bukanlah illat tapi akibat atau hasil (natijah) yang dijadikan tujuan setelah diterapkannya syariat. Tujuan penerapan syariah itu disebut juga al-Maqashid asy-Syariah, diantaranya memelihara Agama, Jiwa, Akal, Keturunan, dan Harta. Islam tidak mengajarkan kehidupan individu ditujukan untuk memenuhi kebahagiaan jasmani semata, tapi kebahagiaan hakiki berupa diraihnya ridla Allah SWT. Maka salah besar jika orientasi seorang muslim dalam berekonomi hanya untuk mengayakan diri namun lupa dengan aturan sang pencipta-Nya. Seharusnya dasar ini yang harus dipahami agar setiap muslim dalam aktivitas ekonominya tidak terlarut kepada kesombongan, kerakusan dan kufur nikmat.

Dalam memperoleh, mengatur, mengelola, dan mengembangkan harta seseorang maka tidak lepas dari budaya sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem ekonomi yang ada mampu mempengaruhi kemajuan suatu bangsa. Jika ditelaah lebih mendalam, konsep ekonomi yang menancap di dunia saat ini adalah ekonomi kapitalisme. Paradigma kapitalisme yang digunakan oleh negara-negara di dunia mampu mempengaruhi aktivitas ekonomi setiap orang, termasuk orang Islam meskipun itu bertentangan dengan ajaran agamanya. Maka wajar jika muslim seharusnya mempertahankan fiqh muamalah sebagai cara pandang (perspektif) dalam berekonomi.

Kapitalisme pada hakikatnya tidak akan melahirkan keadilan ekonomi, yang ada justru ketimpangan ekonomi. Adji Samekto dalam bukunya yang berjudul Kapitalisme, Modernisme dan Kerusakan Lingkungan mengatakan bahwa globalisasi identik dengan ekspansi kapitalisme global. Pendorong utamanya adalah ekspansi agar tata perekonomian seluruh dunia diserahkan kepada mekanisme pasar bebas. Prinsip kebebasan menjadi ‘produk’ utama dalam kapitalisme. Paham ini pun bertujuan melakukan penumpukan modal (capital accumulation) melalui proses penanaman modal (capital investment). Dari sinilah kapitalisme mengharuskan adanya ekspansi ke luar wilayah dalam bentuk penguasaan pasar, sehingga secara historis paham ini yang melahirkan penjajahan atau penaklukkan suatu negara terhadap negara lain.

Wajah negara kapitalis saat ini tidak tidak bisa lepas dari watak negara penjajah. Metode penjajahan fisik sudah mulai bergeser menjadi penjajahan non fisik atau sering disebut neoimperialisme (penjajahan gaya baru). Rupanya hal ini sulit disadari oleh banyak masyarakat, termasuk Indonesia. Hutang adalah salah satu contohnya, negara siapa yang berhutang maka sepantasnya dia ‘melayani’ negara yang telah meminjamkannya hutang. Mulai dari kebijakan hingga budaya bisa disetir dari penguasaan ekonomi suatu negara. Tidak lain karena mengedepankan mekanisme pasar bebas sebagai acuannya.

Islam tidak lepas tangan dalam mengatur pasar. Keadilan dalam mengatur pasar justru terpancar dari konsep fiqh muamalah, karena Islam melarang kedzaliman dan ketidakadilan. Beberapa contoh larangan dalam praktik pasar seperti: Talaqqi Rukban, yakni pedagang kota yang membeli barang karena ketidaktahuan penjual kampung akan harga di kota; Mengurangi timbangan; Menyembunyikan barang cacat; Transaksi Najasy, yakni meminta orang lain membei barangnya dengan harga tinggi agar orang lain tertarik; Ikhtikar (penimbunan); Ghabn Fahisy (menjual di atas harga pasar); dan lain-lain.

Praktiknya era kapitalisme mengajarkan ketidakbenaran konsep ekonomi, efeknya kebebasan pasar yang kebablasan. Tak hanya itu, kapitalisme mengajarkan konsep kelangkaan (scarcity) sebagai problematika ekonomi karena kebutuhan manusia yang tidak terbatas sementara alat pemenuhannya terbatas. Cara pandang ini perlu diluruskan, karena era kapitalisme saat ini hanya menggunakan materi sebagai tolak ukur kebutuhan. Suatu barang atau jasa disebut sebagai alat pemuas kebutuhan apabila barang tersebut memiliki manfaat/nilai guna, meskipun barang itu haram. Cara pandang yang salah malah menimbulkan solusi yang salah pula. Akhirnya dengan memperbanyak produksi atau mengurangi populasi diyakini dapat mengatasi scarcity problem tadi.

Sedangkan Islam punya perspektif bahwa kebutuhan (need) dan keinginan (want) itu berbeda. Kebutuhan sifatnya terbatas, sedangkan keinginan manusia yang tidak terbatas. Kebutuhan pun berbeda-beda, ada primer, sekunder dan tersier. Kebutuhan pokok (primer) akan tetap, seperti makan. Adapun kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) akan mengalami perkembangan meskipun yang dibutuhkan hanya sekadarnya, seperti mobil banyak namun akhirnya yang dipakai hanya satu. Adapun kebutuhan manusia sejatinya tidak hanya berupa materi semata, namun juga kebutuhan lain seperti agama, kasih sayang, keturunan, dsb. Begitupun kemiskinan menjadi problem yang terletak pada individunya serta kesalahan dalam distribusi kekayaannya, bukan karena kelangkaan sumber daya. Seandainya negara itu kaya namun bisa saja banyak rakyatnya jatuh miskin, artinya problem individu yang bermasalah di sana. Justru saat kemiskinan individu terpecahkan, maka dengan sendirinya kemiskinan negara akan terpecahkan.

Rupanya problem dasar dalam kapitalisme lah yang melahirkan problem cabang lainnya. Semisal riba (bunga), riba dijadikan asas transaksi dalam perekonomian dunia. Segala hal yang berkaitan dengan perbankan hingga hutang negara tidak lepas dari jerat riba, alih-alih ingin menguntungkan faktanya justru timbul kegoncangan dan kesengsaraan. Alasan Islam mengharamkan riba tidak lain demi kemaslahatan manusia. Kalau saja riba dilarang maka kelak negeri kita bisa terselamatkan. Sebagaimana firman Allah SWT.

"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS. Al-‘Araaf: 96)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun