Dulu, sedekah untuk orang Siak mengaji itu tidak ditentukan nilai rupiahnya. Sekarang, labai sudah menentukan berapa orang rumah semestinya mengeluarkan uang untuk sedekah buat sekian orang siak yang ikut mengaji di rumahnya.
Masyarakat yang mengaji pun tak mau memberikan sedekah ala kadarnya. Dia menanyakan terlebih dulu ke labai, atau pegawainya labai, berapa sedekah untuk orang siak yang harus diberikan.
Akibatnya, tak banyak lagi rumah yang menyelenggarakan mengaji ka puaso tersebut. Paling masyarakat kebanyakan mendoa dengan seorang orang Siak saja.
Apalagi dengan kondisi perekonomian masyarakat sekarang yang nyaris porak-poranda akibat covid, tradisi mengaji jelang puasa masuk jauh berkurangnya bila dibandingkan dengan zaman dulu.
Khusus saat ada musibah kematian di tengah masyarakat, para orang Siak termasuk garda terdepan. Mulai dari memandikan, menshalatkan, mengajikan mulai dari malam usai dikuburkan, sampai 100 hari wafat.
Inilah yang kata guru-guru, sebaik-baik untung adalah jadi orang siak. Ibadah mantap, beramal rajin, makan dapat, sedekah uang pun dikasih. Lengkap dunia dan akhirat. Tergantung niat orang Siak itu lagi. Apa niat dan tujuannya jadi orang Siak, maka itulah yang didapatkannya.
Orang Siak yang naiknya melalui kaderisasi pakiah, itu akan punya nilai tersendiri. Bacaannya terkenal rancak dan fasih. Sebab, dia mengaji nahwu sharaf dulunya di surau atau pesantren. Dia tak mau sembarang baca, seperti yang terjadi pada orang Siak yang naiknya tidak melalui jalur pakiah terlebih dulu.
Pakiah, adalah mereka yang tengah mengaji di surau. "Dima mangaji, kiah," tanya seseorang ke pakiah yang tengah minta sedekah di kampung-kampung.
"Di Surau Tuanku Jalalein, mak," jawab dia sejujurnya.
Di Padang Pariaman terkenal banyak surau yang mendidik anak-anak pakiah. Surau-surau itu yang berubah nama menjadi pesantren.
Sejak dari Surau Kalampaian yang paling tua di Ampalu Tinggi, hingga surau yang dibangun para tuanku sekarang di berbagai kampung di daerah itu.