Di Indonesia kesehatan jiwa atau mental pekerja nampaknya belum menjadi fokus utama dari perusahaan atau pemberi kerja.
Terbukti dari fakta di lapangan sangat sedikit perusahaan yang memberikan fasilitas ataupun dukungan terhadap kesehatan mental dari karyawannya tidak terkecuali perusahaan-perusahaan besar dan bonafide di Indonesia.
Sangat ironi ketika di awal mendaftar dan seleksi bekerja kita tentu sering harus bergumul dengan psikotes bahkan wawancara dengan psikolog dan sebagainya, namun ketika sudah masuk dan bekerja sangat jarang perusahaan yang memerhatikan kesehatan jiwa karyawannya padahal kesehatan jiwa juga adalah satu kesatuan dengan kesehatan fisik karyawannya.
Banyak dari kita yang tentu diwajibkan melakukan Medical Check Up (MCU) setiap tahunnya guna memeriksa kesehatan fisik kita agar mampu dan cakap untuk bekerja, namun sangat sedikit perusahaan yang memeriksakan atau setidaknya memberikan fasilitas pemeriksaan serta konsultasi kesehatan jiwa karyawannya.
Tidak jarang juga kita temui perusahaan seolah tutup mata akan kondisi kejiwaan karyawannya. Mereka seakan mengatakan bahwa kesehatan jiwa hanyalah tanggung jawab pribadi karyawan.Â
Mereka harus prima secara psikis setiap waktu bagaimanapun keadaannya termasuk dikala beban kerja mereka menggunung dan masa pandemi Covid-19 saat ini.
Lalu bagaimana harusnya perusahaan lebih berperan untuk mendukung kesehatan jiwa karyawannya?
Kesehatan jiwa di lingkungan kerja sebenarnya sudah termaktub dalam UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa meski baru sebatas upaya promotif terhadap kesehatan jiwa.
Di dalam UU tersebut dinyatakan sebagai berikut:
Pasal 6