Mohon tunggu...
Adrian Susanto
Adrian Susanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - aku menulis, aku ada

pekerjaan swasta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pahami Dahulu Persoalan Wisata Halal Sebelum Menilai Orang Salah Paham

27 November 2019   09:43 Diperbarui: 27 November 2019   09:43 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

BEBERAPA minggu lalu ramai di jagat media sosial diskusi tentang istilah "wisata halal". Hal ini berangkat dari selentingan dua destinasi wisata Bali dan Danau Toba, yang dilabeli wisata halal. Pro kontra pun ramai. Beberapa orang (dari kubu pro) menilai bahwa mereka yang menolak pelabelan itu telah salah paham soal istilah "wisata halal". Lalu muncullah penilaian-penilaian aneh lainnya, seperti islam phobia dan intoleran.

Akan tetapi, mereka yang menilai orang salah memahami makna wisata halal seharusnya terlebih dahulu memahami persoalan yang ada di balik label "wisata halal". Persoalan yang ada itu bukan menyangkut umat non muslim, tetapi lebih ditujukan kepada umat islam sendiri.

Pada umumnya, ketika mendengar istilah "halal" orang langsung mengaitkannya dengan agama islam. Hal ini dapat dimaklumi, karena setiap produk makanan harus mempunyai sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Karena itulah, setiap kali melihat produk makanan dengan label halal, orang lantas memahaminya dengan agama islam. Maka, label "wisata halal" juga dikaitkan dengan umat islam.

Selain agama islam, istilah "halal" juga selalu dikonfrontasikan dengan istilah "haram", yang juga berhubungan dengan agama islam. Dapat dikatakan sesuatu yang halal berarti tidak haram bagi umat islam; atau sesuatu yang diharamkan dalam agama islam berarti tidak halal bagi umat islam. Sesuatu yang telah dinyatakan halal berarti tidak haram bagi umat islam, sehingga umat dapat menggunakannya. Sebaliknya, jika dinyatakan haram maka itu tidak halal bagi umat islam.

Karena istilah "halal" selalu dikaitkan dengan agama/umat islam, maka istilah "wisata halal" dapat dipastikan lebih ditujukan kepada umat islam; untuk menjawab kepentingan umat islam. Dengan "wisata halal" dimaksudkan bahwa tempat wisata tersebut, sekalipun bukan merupakan daerah islam, layak dan ramah bagi umat islam.

Misalnya, Bali, Danau Toba, Danau Kelimutu atau Negara Jepang. Dengan memberi label "wisata halal" hal ini menunjukkan bahwa tempat-tempat wisata tersebut layak bagi umat islam dan penduduknya ramah terhadap umat islam. Misalnya, tersedianya rumah makan yang menyediakan makanan yang boleh dikonsumsi umat islam, tersedia rumah ibadah sehingga umat islam dapat menjalani kewajiban sholatnya, dan hal-hal lainnya yang menjawab kebutuhan umat islam.

Lantas apa persoalan di balik label "wisata halal"? Hal ini perlu mendapat tanggapan bijak dari umat islam sendiri, terkhusus para ulamanya, karena hal ini terkait dengan citra islam sendiri. Setidaknya ada 2 problematika istilah "wisata halal".

Pertama, seperti yang sudah diutarakan di atas, istilah halal biasanya langsung dikonfrontasikan dengan istilah haram. Dengan menetapkan satu daerah atau satu negara sebagai wisata halal, secara implisit hendak dikatakan bahwa daerah atau negara lain yang tidak memiliki label itu merupakan wisata haram.

Atau ketika ada kepala daerah menolak label "wisata halal" untuk daerahnya, secara tersirat berarti daerah itu adalah haram bagi umat islam. Dari sini dapat dikatakan bahwa islam tidak hanya sekedar membedakan orang: kafir dan islam atau membedakan makanan halal dan haram, tetapi juga membedakan tempat: halal dan haram. Agama islam tidak cuma mengkafir-kafirkan orang yang berbeda dengannya, tetapi juga mengharam-haramkan daerah atau negara yang tidak memperhatikan kepentingannya.

Ada kesan arogan dalam agama islam. Padahal selalu didengungkan bahwa islam itu agama toleran dan menghormati perbedaan. Akan tetapi, dalam kasus ini terlihat arogansi islam, yang memaksakan kehendaknya. Jika orang tidak percaya pada ajaran islam maka ia akan dilabeli kafir, atau jika suatu daerah wisata tidak memperhatikan dan memenuhi kebutuhan/kepentingan umat islam maka daerah itu, secara tak langsung, dilabeli haram.

Kedua, dengan label "wisata halal" pada suatu daerah wisata, sekalipun daerah itu bukan merupakan daerah islam, berarti mau dikatakan bahwa daerah wisata itu layak dan ramah bagi umat islam. Daerah tersebut memperhatikan kepentingan dan kebutuhan umat islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun