Mohon tunggu...
Adrian Susanto
Adrian Susanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - aku menulis, aku ada

pekerjaan swasta

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kasus Suami Perkosa Istri Harus Dilihat dari Sisi Agama

5 Oktober 2019   06:58 Diperbarui: 5 Oktober 2019   07:13 1304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hingga saat ini Indonesia, yang sudah 74 tahun merdeka, masih menggunakan hukum pidana produk Pemerintah Kolonial Belanda. Sudah sejak puluhan tahun muncul keinginan agar bangsa Indonesia mempunyai produk hukum pidananya sendiri. 

Akan tetapi, ketika rancangan undang-undang KUHP hendak disahkan oleh DPR, aksi penolakan begitu kuat. Demikian pula dengan rancangan undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Ada beberapa pasal yang dinilai menuai kontroversial. Salah satunya adalah persoalan kehadiran negara pada ranah pribadi.

Persoalan kehadiran negara pada ranah pribadi ini tampak dalam beberapa pasal. Yang paling menonjol adalah soal suami memperkosa istri, yang dapat dihukum maksimal 12 tahun penjara. Kami sendiri belum menemukan pasal dengan klausul perkosaan suami terhadap istri. 

Akan tetapi, di media sosial persoalan ini ramai dibicarakan para netizen. Pada umumnya netizen bersikap negatif terhadap pasal tersebut, dan menilai pasal tersebut berlebihan.

Sebelum kita membahas persoalan ini, terlebih dahulu kita harus memahami apa yang dimaksud dengan perkosaan suami terhadap istri. Umumnya perkosaan dipahami dengan pemaksaan dalam berhubungan seks; dan yang melakukan pemaksaan itu adalah suami, sedangkan istri sebenarnya menolak. 

Atau, mengutip pasal 16 RUU PKS, perkosaan adalah "kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, atau tipu muslihat, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual." 

Jadi, dalam konteks ini, suami memaksa istrinya untuk melakukan hubungan seks, padahal istri tidak setuju, atau tidak siap atau tidak lagi mood dengan berbagai macam alasan.

Di sinilah kebanyakan orang tidak bisa menerima persoalan perkosaan suami terhadap istri, lalu mengaitkan dengan kehadiran negara dalam kehidupan ranjang suami istri. 

Orang menilai negara terlalu mencampuri urusan pribadi suami istri, yaitu masalah ranjang. Karena itu, mereka menolak pasal yang mengatur hal itu.

Benarkah negara tidak boleh hadir dalam kehidupan pribadi warganya? Kehadiran negara di sini harus dimaknai sebagai upaya negara melindungi warganya dari tindakan yang tidak menyenangkan. 

Pada kasus perkosaan dalam rumah tangga, negara hadir untuk melindungi pihak istri. Hal ini sama seperti kehadiran negara dalam kasus kekerasan terhadap anak, baik itu di rumah maupun sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun