Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gadis Desa Hancur di Kota, Sudah Hancur Baru "Diurus"

21 Februari 2020   14:03 Diperbarui: 21 Februari 2020   20:54 1083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemarin saya membaca salah satu harian lokal. Surat kabar langganan kantor itu terbitan tanggal 16 Februari 2020.

Halaman depannya mengulas soal kafe remang-remang dan indikasi anak perempuan di bawah umur yang menjadi pelaku seksual. Namanya di bawah umur, berarti mereka yang usianya kini sepantaran keponakan-keponakan saya, berkisar antara 13 - 17 tahun. Belum lewat 18 tahun.

Namun oleh sang "Mami" atau "Papinya", diminta agar pada saat melayani pelanggan, katakan bahwa usiannya sudah 19 tahun atau di atasnya. Sudah pasti, busana dan riasan wajah juga direkayasa demi menghindari kecurigaan oleh pihak-pihak tertentu. Dipermak abis.

Waktu berjalan dan para pramuria masih bau kencur itu melakoni pekerjaannya. Berasal dari desa-desa di sebuah provinsi di Pulau Jawa, mereka seakan hidup segan mati tak mau. Nggak kerja, berarti nggak makan. Kalau mau hidup di tanah rantau, pengen beli ini dan itu, suka tidak suka, mau tidak mau, harus dijalani. 

Toh hidup di kota besar juga menjadi impian mereka. Berawal dari keterpaksaan menjadi sebuah kewajiban. Lama-kelamaan bisa jadi kewajiban itu bermetaforsa menjadi kenikmatan. Kenikmatan yang membikin ketagihan. Meminjam lagunya almarhum Om Meggy Z. Terlanjur basah, ya sudah mandi sekalian.

Kontrak sudah dibuat, perjanjian sudah diikat. Akan dipekerjakan sebagai ini dan itu di daerah yang baru. Terbanglah dengan burung besi, mengangkasa jauh dari kampung halamannya. Boleh jadi itu adalah momen pertama kali naik transportasi udara, sesuatu yang diidam-idamkan. Demi cerahnya sebuah masa depan. 

Mengangkat harkat dan martabat keluarga. Jaminan bagi mereka adalah omongan dari orang yang merekrut dan membinanya. Perginya aja naik pesawat, gratis pula. Pasti keren tempat kerjanya. Boleh jadi itu yang ada dibenak mereka. Ditambah iming-iming gaji sekian juta.

Namun apa lacur. Sekian lama bekerja, ada janji di atas ingkar. Mulai dari harapan pembagian yang tak sesuai hingga lokasi bekerja yang jauh panggang daripada api.

Bila bekerja di perusahaan formal, terjadi ketidaksesuaian soal gaji dan lainnya, bisa mengajukan ke bagian HRD. Namun bekerja di bidang jasa hiburan "abu-abu", kepada siapa harus mengadu. 

HRD-nya adalah orang-orang yang menceburkan mereka. Satu-satunya tempat adalah institusi yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Dan itu tak hanya kepolisian, tapi juga kedinasan atau lembaga lain yang berkaitan dengan fungsi itu.

Andai memilih bertahan untuk tak melapor dan mengambil risiko terus bekerja demi kebutuhan hidup, cepat atau lambat, akan terkuak pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun