Mohon tunggu...
Agung Dwi Laksono
Agung Dwi Laksono Mohon Tunggu... peneliti -

Seorang lelaki penjelajah yang kebanyakan gaya. Masih terus belajar menjadi humanis. Mengamati tanpa menghakimi. Mengalir saja...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sang Pengisi Kekosongan di Manggarai Timur

11 Juni 2016   09:24 Diperbarui: 11 Juni 2016   10:31 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruteng, Manggarai, 09 Juni 2016

Pada perjalanan kali ini kami berkesempatan untuk mendampingi ibu sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan RI, Ria Sukarno, SKM., MCN., untuk melakukan supervisi kegiatan lapangan Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2016. Kegiatan supervisi kali ini mengambil tempat di Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.  

Gambar 1. Peta dan Posisi Kabupaten Manggarai Timur. Sumber: id.wikipedia.org
Gambar 1. Peta dan Posisi Kabupaten Manggarai Timur. Sumber: id.wikipedia.org

Kabupaten Manggarai Timur merupakan salah satu dari 25 kabupaten lainnya yang menjadi sasaran Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2016. Riset yang digawangi oleh Pusat Humaniora dan Manajemen Kesehatan ini ditujukan untuk menggali potensi lokal, terutama yang berbasis budaya, untuk dipergunakan bagi sebaik-baiknya status kesehatan masyarakat setempat.

Kabupaten Manggarai Timur merupakan salah satu dari dua kabupaten pemekaran Kabupaten Manggarai. Kabupaten yang berada di antara Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Ngada ini terlahir secara resmi berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2013 per tanggal 17 Juli 2007.  

Secara umum untuk menuju salah satu kabupaten di Pulau Flores ini tidaklah sulit. Bila kita berasal dari luar Provinsi Nusa Tenggara Timur, maka kita bisa menggunakan pesawat udara tujuan Bandar Udara Komodo, Labuan Bajo. Yup, Bandar Udara Komodo! yang merupakan pintu gerbang utama untuk menuju salah satu destinasi binatang purba dunia, komodo. Naik pesawat udara menuju Labuan Bajo, serasa kita adalah turis asing yang sedang melancong, betapa tidak? Pesawat ATR Garuda Indonesia yang kami tumpangi, sekitar 80% penumpangnya adalah orang bule, sementara pribumi Indonesia hanya beberapa gelintir saja.

Selanjutnya dari Labuan Bajo kita bisa menggunakan jalur darat selama kurang lebih empat sampai lima jam menuju Borong, Ibukota Kabupaten Manggarai Timur. Sebuah perjalanan dengan jalan yang membikin neg, isi perut serasa mau keluar, jalan yang naik-turun, berkelok-kelok. Meski selama perjalanan tidak terlalu panjang ini kita akan disuguhi lanskap alam yang menyejukkan mata. Kebun cengkeh, kebun coklat, kebun kopi, kebun jeruk, sawah sarang laba-laba, Danau Ranamese, sungai, gunung, dan hutan, semua tampil bergantian memamerkan keindahan lanskap suburnya tanah daratan Pulau Flores. Kondisi ini berbanding terbalik dengan daratan Pulau Timor, salah satu pulau besar lain di Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang kering dan gersang.  

Gambar 2. Jalan Berkelok dan Naik-Turun (kiri); Sawah Sarang Laba-laba (tengah); Danau Ranamese (kanan). Sumber: Dokumentasi Penulis
Gambar 2. Jalan Berkelok dan Naik-Turun (kiri); Sawah Sarang Laba-laba (tengah); Danau Ranamese (kanan). Sumber: Dokumentasi Penulis
Kali pertama kami menemui salah satu peneliti yang berada di Puskesmas Mano. Pada kesempatan ini kami berdiskusi cukup seru tentang tema yang diambil oleh peneliti etnografi yang ditempatkan di Kabupaten Manggarai Timur ini, tentang dukun patah tulang. Rupa-rupanya di wilayah ini kecelakaan lalu lintas cukup banyak terjadi. Track jalan yang berkelok yang naik-turun ternyata cukup banyak membawa korban.  

Kejadian patah tulang sebagai akibat kecelakaan lalu lintas ternyata juga masih ditambah dengan kejadian karena jatuh dari pohon. “Iyaa paak… itu mereka panjat pohon cengkeh… itu tinggii… tapi dahan-dahannya lapuk too…,” cerita Ochi, salah satu peneliti asli Maumere yang live in di wilayah Puskesmas Mano ini.  

Gambar 3. Diskusi dengan Peneliti REK, Dokter Puskesmas dan Kepala Puskesmas Mano. Sumber: Dokumentasi Penulis
Gambar 3. Diskusi dengan Peneliti REK, Dokter Puskesmas dan Kepala Puskesmas Mano. Sumber: Dokumentasi Penulis
Meski kejadian yang menyebabkan banyak terjadinya patah tulang, tetapi tidak terlalu banyak catatan resmi di Puskesmas tentang kejadian ini. “Mereka kalau patah tulang memang jarang ke sini pak. 

Hanya beberapa saja, kebanyakan langsung ke dukun yang bisa menangani patah tulang,” kata Helen, dokter cantik asli Ruteng yang sudah bertugas di Puskesmas Mano selama kurang lebih dua tahun tersebut. Keterangan dokter Puskesmas Mano tersebut dibenarkan oleh Bidan Yustina selaku Kepala di Puskesmas Mano, “Benar pak kata bu dokter, meski mereka ke sini… biasanya hanya minta obat untuk penghilang nyeri saja. Kalaupun kami rujuk ke rumah sakit jarang yang tuntas pengobatannya. Kebanyakan pulang paksa, karena tidak punya uang to…”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun