Mohon tunggu...
Prijadji
Prijadji Mohon Tunggu... Penulis

Humaniora: mengedepankan berpikir kritis dan sikap keterbukaan diri, serta tidak melihat perbedaan dalam satu sudut pandang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berdikari Melawan Ketergantungan: Mengapa Indonesia Susah Mendiri?

24 Agustus 2025   11:30 Diperbarui: 24 Agustus 2025   11:16 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://chatgpt.com/c/68aa8394-4b30-8330-9976-303f57c03d20

Tanggal 17 Agustus 1945 bukan sekadar hari deklarasi kemerdekaan, melainkan sebuah ikrar luhur untuk menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat. Namun dalam perjalanannya, Indonesia justru menghadapi paradoks yang terus berulang. Di satu sisi, semangat "berdikari" dan pembangunan nasional terus digaungkan, sementara di sisi lain, berbagai kebijakan yang diterapkan justru memperdalam ketergantungan pada kekuatan asing.
Tulisan ini mencoba menelusuri akar sejarah dari kondisi ini, dengan melihat bagaimana warisan kolonial, dinamika revolusi, dan situasi geopolitik global membentuk pola kepemimpinan yang belum sepenuhnya mandiri.

Warisan penjajahan Belanda menjadi titik awal penting untuk memahami struktur ketergantungan ini. Kebijakan tanam paksa dan politik etis tidak hanya mengeksploitasi sumber daya alam, tetapi juga menciptakan struktur sosial yang timpang. Kaum priyayi dan birokrat lokal ditempatkan sebagai perantara antara penguasa kolonial dan rakyat, yang kemudian memupuk mentalitas patron-klien. Pola pikir ini diperkuat oleh struktur ekonomi kolonial yang hanya mengekstraksi sumber daya tanpa membangun industri mandiri. Akibatnya, ketika merdeka, Indonesia mewarisi tidak hanya infrastruktur yang rusak, tetapi juga cara berpikir yang menghambat terwujudnya kemandirian yang utuh.

Pada masa revolusi dan awal kemerdekaan, cita-cita kemandirian harus berhadapan dengan realitas untuk bertahan hidup. Perjuangan diplomasi yang berujung pada Pengakuan Kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar tahun 1949, misalnya, mengharuskan Indonesia menanggung hutang warisan Hindia Belanda dan membuka pintu bagi dominasi investasi asing. Situasi ini diperparah oleh fragmentasi politik di era demokrasi liberal, yang membuat setiap kelompok kekuatan mencari dukungan dari blok-blok geopolitik yang bersaing.

Era Perang Dingin semakin memperkuat pola ketergantungan ini. Di masa Presiden Soekarno, jargon "berdikari" justru dibayar dengan ketergantungan baru pada Blok Timur melalui bantuan militer dan ekonomi. Sementara itu, naiknya Orde Baru menandai babak baru dalam hubungan Indonesia dengan kekuatan global. Rezim ini secara sistematis menempatkan Indonesia sebagai "negara klien" dari Blok Barat, dengan kebijakan ekonomi yang berpihak pada investasi asing dan utang luar negeri.

Pasca-Reformasi 1998, harapan untuk mewujudkan kepemimpinan yang mandiri kembali mengemuka. Namun, desentralisasi dan demokratisasi justru melahirkan bentuk-bentuk baru ketergantungan. Otonomi daerah memunculkan "raja-raja kecil" yang menjual akses sumber daya alam kepada pemodal asing untuk membiayai ambisi politik mereka.

Pasca lengsernya Soeharto, Indonesia memasuki babak baru di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie yang memikul tanggung jawab berat dalam memimpin masa transisi menuju demokrasi. Situasi yang dihadapi begitu pelik: krisis ekonomi yang belum pulih, ketidakpercayaan publik terhadap pemerintahan, dan desakan untuk melakukan reformasi politik secara menyeluruh. Kebijakan otonomi daerah dan liberalisasi politik yang diusung Habibie memang berhasil menciptakan ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat. Namun, perubahan ini justru memunculkan tantangan baru dimana elite lokal mulai memanfaatkan akses terhadap sumber daya alam untuk mendukung ambisi politik praktis mereka. Era reformasi yang awalnya dipenuhi harapan besar justru menjadi ajang uji coba demokrasi yang masih rentan, dengan ketergantungan pada bantuan lembaga keuangan internasional untuk pemulihan ekonomi.

Memasuki pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, wajah demokrasi Indonesia semakin dinamis dengan penekanan pada nilai-nilai pluralisme dan kebebasan berpendapat. Namun, kondisi politik nasional yang belum stabil membuat posisi Gus Dur rentan terhadap berbagai tekanan dari kekuatan politik yang berseberangan. Kemandirian kebijakan seringkali harus berhadapan dengan realitas kompromi politik dengan berbagai fraksi di parlemen. Selanjutnya, kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri lebih berfokus pada penciptaan stabilitas nasional, sayangnya hal ini diikuti dengan meningkatnya pengaruh modal asing dalam sektor-sektor strategis seperti energi dan pertambangan.

Para pemimpin di era reformasi awal ini menghadapi dilema yang kompleks: upaya memperkuat demokrasi dan desentralisasi justru berpotensi melahirkan kekuatan politik baru di daerah yang lebih mengutamakan kepentingan pragmatis dengan pemodal asing daripada visi jangka panjang untuk kemandirian bangsa. Transisi demokrasi membawa angin kebebasan, tetapi sekaligus memperlihatkan betapa sulitnya mewujudkan kedaulatan ekonomi di tengah tekanan kepentingan global

Di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, liberalisasi ekonomi semakin masif melalui UU Penanaman Modal Asing tahun 2007. Kebijakan ini dianggap sering mengesampingkan kepentingan pelaku usaha lokal. Indonesia juga semakin terjerat dalam skema utang luar negeri untuk pembiayaan infrastruktur.

Di bawah kepemimpinan Joko Widodo, paradoks semakin nyata. Visi "Indonesia Sentris" dan pembangunan infrastruktur masif justru bersandar pada pembiayaan asing, khususnya dari Tiongkok melalui skema Belt and Road Initiative. Kebijakan hilirisasi sumber daya alam memang menambah nilai tambah, tetapi juga memperkuat ketergantungan pada teknologi dan pasar global.

Kini, dengan terpilihnya Prabowo Subianto sebagai presiden baru, tantangan yang sama masih menghadang. Pertanyaannya adalah akankah pemerintahan baru mampu menggeser orientasi dari pertumbuhan ekonomi yang bergantung pada luar negeri menuju kemandirian yang berbasis pada kapasitas domestik?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun