Mohon tunggu...
Aditya Nuryuslam
Aditya Nuryuslam Mohon Tunggu... Auditor - Menikmati dan Mensyukuri Ciptaan Ilahi

Menjaga asa untuk senantiasa semangat berikhtiar mengadu nasib di belantara Megapolitan Ibukota Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rekor Puasa Merokok Saya Terhenti di Tahun ke-5

5 Oktober 2021   23:22 Diperbarui: 6 Oktober 2021   21:15 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya mengenal rokok jauh sebelum akhil balik, tepatnya ketika masih balita pun secara alam bawah sadar saya sudah diperkenalkan menikmati lezatnya asap rokok dari lingkungan di sekitar saya.  Tanpa mengkambing hitamkan siapapun, lingkungan sekitar kita secara dominan akan mewarnai kehidupan kita. Maka tak heran jika saya sangat familiar dengan beragam jenis rokok sejak usia dini. 

Saya sendiri mulai mencoba merokok di usia yang sangat muda kalau tidak salah kelas 5. Saya coba coba merokok dari "mencuri" sebatang rokok milik ayah yang kebetulan tergeletak bebas di meja tamu. Sejujurnya, pengalaman pertama saya merokok, bukanlah pengalaman yang menyenangkan, tidak seperti bayangan dan harapan saya mendapatkan kenikmatan dalam merokok. 

Dari pengalaman pribadi yang kurang bisa menikmati rokok itu, seharusnya menjadi momen tepat untuk tidak melanjutkan lagi eksperimen merokok.  Namun demikian, kembali lagi lingkungan di sekitar saya (keluarga, tetangga dan sekolah) benar-benar mempengaruhi behaviour pribadi saya yang secara tak sadar membawa arus ke kebiasaan merokok di usia dini. 

Beranjak menapak dari dunia anak-anak menuju remaja, semakin mendekatkan saya kepada intensitas mencari kenikmatan merokok baik dilakukan secara individu ataupun secara komunal. Selayaknya remaja muda di era awal tahun 90 an memang sangat identik dengan haus pencairan identitas diri, mulai muncul benih-benih pemberontakan dari custom yang ada,di sisi lain  egoisme kelompok menambah subur keinginan untuk terus mencoba dan mencari kenikmatan merokok. 

Intensitas merokok semakin meningkat ketika sudah mulai beranjak di sekolah menengah, dimana jika dilihat dari lingkungan juga sangat mendukung dan secara psikologis sudah mulai dapat menikmati setiap hisapan sebatang rokok. Pada tahap ini saya sudah mulai bisa membedakan tingkat kepuasan antar jenis rokok, dan merokok sudah menjadi kebiasaan namun belum pada taraf ketagihan. Pada masa ini saya sudah punya kecenderungan untuk membeli satu jenis merk rokok dengan tingkat tar/nikotin yang sesuai. 

Pada masa pra dewasa yaitu ketika masuk era perkuliahan dan awal-awal kerja adalah masa dimana secara tidak sadar saya mendapati diri telah mulai ketagihan untuk merokok. Apalagi dengan  merokok itu ada semacam candu kenikmatan untuk melepaskan atau meredakan syaraf syaraf yang tegang karena bertumpuknya tugas-tugas kuliah atau dateline target yang harus diselesaikan. 

Bukannya saya tidak tahu informasi tentang bahayanya merokok. Mulai dari peringatan keras dari ibu, slogan dan selebaran tentang bahaya merokok, belum lagi secara formal kita senantiasa diingatkan dalam sistem pendidikan akan bahaya merokok. Namun demikian semuanya hanya bersifat anjuran, informasi dan pengetahuan tentang bahaya merokok sifatnya kaku dan formil, hanya sebagai slogan tanpa ruh dan kurang komunikasi bahasanya sehingga tidak membumi, sehingga membuat semua usaha-usaha mencegah orang untuk tidak merokok endingnya kurang efisien dalam mempengaruhi behaviour masyarakat untuk berhenti atau meninggalkan kebiasan merokok. 

Seperti umumnya sifat manusia, sebelum terbentur suatu masalah belum juga akan berhenti atau mengerti.  Begitu pula saya, ketika behaviour merokok saya sudah mulai mempengaruhi kesehatan saya, di saat itulah saya mulai memikirkan untuk mencoba mengurangi dan berharap dapat berhenti merokok.  Namun demikian, niat baik itu tidaklah dapat terealisasi semudah seperti membalik telapak tangan.  Beberapa kali saya mencoba namun seringkali berakhir dengan kegagalan.  Sampai pada satu titik di tahun 2016, ketika ibu mertua saya meninggal akibat kanker paru-paru, menjadi trigger saya untuk mencoba sekuat tenaga berhenti total merokok. 

Satu bulan pertama tidak merokok, serasa "gurah" seperti batuk berdahak yang ngga berhenti, namun setelah itu mulai mereda dan kondisi badan mulai normal.  Berat badan saya terkoreksi cukup signifikan karena berpengaruh terhadap nafsu makan. Pada tahun pertama berhenti merokok, keinginan merokok (kembali) adalah tantangan berat yang harus bisa saya lewati, secara psikologis daya addict masih tersisa dan sangat terasa, apalagi ketika sedang banyak pekerjaan atau sedang berkumpul dengan teman-teman pastilah godaan untuk sekedar mencoba sebatang rokok selalu datang dalam benak kita. 

Lima tahun sudah saya puasa merokok. Saya merasa sudah aman dari godaan merokok walau kadangkala godaan ingin merokoknya masih melintas di fikiran. Sampai pada satu momen, saya pun tergoda untuk mencoba kembali merokok.  Ternyata lima tahun berhenti merokok itupun tidak serta merta kebal atau menghilangkan keinginan kembali merokok.  Kadang ada penyesalan kenapa harus merokok lagi. Setidaknya penyesalan sekarang lebih baik daripada tidak sama sekali, dan mulai membangun asa kembali memulai dari awal untuk mencoba menahan diri dari godaan psikologis untuk merokok (lagi). Bukan karena ikutan trend atau gaya-gayaan tapi niat saya untuk (kembali) tidak merokok (lagi) lebih kepada untuk  bisa mencoba (kembali) hidup lebih sehat dan bisa memiliki kesempatan (lebih) mendampingi keluarga dan anak-anak hingga beranjak dewasa. Setidaknya, hanya itulah yang masih bisa saya pegang untuk kembali memulai (lagi) dari nol hidup tanpa merokok. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun