Mohon tunggu...
Aditya Eka Ramadhan
Aditya Eka Ramadhan Mohon Tunggu...

Kurcaci yang terpesona dengan alam semesta. Seorang sastrawan komputer. Senang merenungi untaian kehidupan...

Selanjutnya

Tutup

Nature

Citarum, yang Terlupakan Jaman

26 April 2011   02:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:23 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1303784427639233330

Citarum, nama yang tidak asing lagi buatku dan ribuan orang lainnya, karena setiap hari saya selalu melewati sungai yang kesohor di Jabar ini. Melewatinya dan melupakannya begitu saja.

Setiap kali melewati sungai ini di musim kemarau, kau akan merasakan bau yang menyesakkan hidung, bau comberan, airnya pun berwarna kehitaman, mengalir perlahan di permukaan yang mulai mendangkal dan penuh sampah. Sebaliknya, disaat musim penghujan, sungai satu ini akan meluap, melebihi daya tampungnya, sehingga dengan segera ia akan membanjiri wilayah sekitarnya, sebutlah Baleendah dan Dayeuhkolot, daerah yang selalu terkenal disaat musim hujan karena ulah citarum ini.

Citarum yang beracun ini ternyata menjadi gantungan kehidupan bagi banyak orang. Ratusan petani ikan keramba dan para pencari pasir mengais rezeki di sungai Citarum ini. Jutaan manusia menggunakannyai untuk berbagai aktivitas dan perusahaan air minum menggunakan sungai ini untukbahan baku air minum. Dan belasan juta manusia tergantung pada listrik yang dihasilkan dari aliran sungai ini. Tapi hanya sedikit dari kita yang peduli dengan kondisinya, sungai Citarum, sungai yang sedang sekarat.

Ya, sekarat... Bayangkan saja setiap hari sungai ini selalu dipasok oleh berton-ton limbah dari berbagai industri di dekatnya. Ditambah lagi limbah rumah tangga dan sampah-sampah nonorganik ikut menyumbang atas kematian secara perlahan sungai Citarum ini.

Siapa yang salah... mungkin kita akan segera menyalahkan industri-industri yang mengotorinya. Tapi benarkah yang paling bersalah adalah mereka? Masalah Citarum adalah masalah yang menjadi pelik karena ketidakpedulian banyak dari kita akan lingkungan. Citarum adalah tempat sampah raksasa karena kita selalu membuang sampah sembarangan dan kebiasaan ini mungkin akan kita wariskan kepada anak cucu kita. Citarum adalah sungai beracun karena kita tidak pernah peduli bahwa kita akan mewariskan bencana dan penyakit bagi generasi masa depan kita. Citarum memang bisa dijadikan sebuah model untuk Indonesia dan dunia betapa kita sudah lalai mengajarkan mudahnya membuang sampah pada tempatnya kepada anak cucu kita, betapa lalainya kita menyadari, bahwa air PDAM yang kita gunakan mungkin berasal dari sungai ini, dan kita mengotorinya, mengotori sumber air minum kita.

Sungai Citarum adalah bukti ketidaktegasan pemerintah, dalam hal ini adalah pemerintah Jawa Barat, dan pemerintah kabupaten-kabupaten yang dilaluinya. Masalah betapa terpolusinya Citarum adalah masalah yang sudah terdengar sejak dahulu, tapi tidak ada tindak lanjut dari pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Wacana menormalisasi sungai Citarum diangkat pemerintah semenjak luapan Citarum mulai tidak terkendali, tapi normalisasi sungai bukanlah penyelesaian akhir untuk masalah Citarum itu sendiri, karena itu hanya berlaku untuk jangka waktu pendek. Pemerintah harus mau mendidik masyarakat luas untuk belajar menghargai alam dan lingkungannya. Semakin banyak masyarakat yang terdidik mengenai lingkungan, akan semakin banyak orang yang peka dengan isu-isu lingkungan yang berdampak pada kehidupan orangbanyak.

Hanya tinggal waktu saja ketika banyak orang mendemo besar-besaran industri yang membuang limbah beracun ke Citarum, mendemo para penebang liar di hulu Citarum, mendemo mereka yang tidak menghargai alam. Kuncinya hanya satu... buat masyarakat untuk peduli lingkungan dan alam negeri ini.

Untuk itulah dibutuhkan ketegasan pemerintah dan koordinasi pemerintah dengan LSM lingkungan dan masyarakat luas untuk membuat sebuah skenario besar bagaimana menyadarkan masyarakat yang tidak melihat bahwa lingkungan adalah harta yang tak ternilai harganya.

Pemerintah dengan Departemen Pendidikannya bisa membuat sebuah kurikulum berkelanjutan mengenai lingkungan, membantu generasi muda kita untuk melihat, mendengar dan merasakan geliat dan desah sungai Citarum yang sekarat dan lingkungan kita yang telah tercemar. Ataupun pemerintah dengan Departemen Agamanya dapat mengajak umat-umat beragamauntuk lebih peduli dengan lingkungan sesuai dengan yang diperintahkan agama masing-masing.

Jangan sampai dikemudian hari, kata 'Sungai' di kamus telah berubah arti menjadi "Jamban raksasa; septic tank panjang; tempat pembuangan sampah akhir yang mengalir dinamis. '' Belum terlambat bagi saya, anda, kita dan mereka untuk mau berubah dan lebih peduli lingkungan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun