Mohon tunggu...
Adi Triyanto
Adi Triyanto Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sebuah Perusahaan swasta Di Tambun- Bekasi-Jawa Barat

Lahir Di Sleman Yogyakarta Bekerja dan tinggal Di Bekasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Religius Konvensional

29 Mei 2022   08:34 Diperbarui: 29 Mei 2022   08:43 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Religius konvensional. Atau keber-agamaan dengan cara cara lama. Itu kata yang pas untuk merangkum level status  yang dikejar banyak orang dalam kehidupan beragama saat ini. Mereka berlomba lomba menunjukkan level kualitas  dalam beragama dengan cara cara yang lebih bersifat fisik.  Hasil  yang  berupa hal yang bisa disentuh dan  dilihat fisiknya  sebagai simbol atau ukuran tingkat religiusitas seseorang dalam beragama. 

Fisik disini tidak hanya yang berupa fisik bangunan tetapi juga amalan amalan fisik  yang bisa terlihat orang lain.  Semakin banyak bangunan fisik yang dibangun semakin menunjukkan bahwa seseorang makin religius dan makin dianggap sholeh. Semakin banyak amalan amalan fisik yang dikerjakan dan  banyak diketahui orang maka , makin baik juga citranya dalam kalangan ummat agama itu. Yang membangun  tiga  mushola  dikatakan  lebih sholeh daripada yang hanya membangun sebuah mushola. Yang menunaikan ibadah haji ke tanah suci di Mekah lima kali, dikatakan lebih sholeh daripada yang baru sekali. 

Kecenderungan religiusitas konvensional  menjadi penanda kealiman dan ketaatan , sudah berlangsung  dari sejak jaman dahulu hingga saat ini. Yang menjadi citra sebuah kereligiusan seseorang sejak jaman dulu. Sebuah religiusitas berdasarkan visual. Yang ditangkap lewat penglihatan mata. Manusia pun berlomba lombalah memperindah bangunan fisik tempat ibadah. Berlomba lomba pula memperbanyak amalan amalan, seperti membaca surat tertentu berapa ratus kali tiap waktu atau hari tertentu. Sementara pesan dari pendirian bangunan fisik serta surat yang dibaca berkali kali tersebut terabaikan. Alias terjebak kulitnya dan terlupakan isinya.

Religiusitas berbentuk fisik memang mudah terlihat. Langsung bisa dinilai  hasilnya oleh orang lain. Bisa berbentuk bangunan masjid atau mushola. Bisa juga berbentuk pondok pesantren atau panti . Atau bangunan fisik lainnya. Semakin banyak masjid atau tempat ibadah yang dibangun seseorang berarti makin dianggap religius seesorang. Semakin banyak fasilitas fasilitas sosial  yang didirikan atas biaya seseorang maka makin dikenal seseorang itu sebagai orang yang religius.

Begitu juga makin banyak kegiatan fisik yang diajarkan agama yang diamalkan , yang bisa dilihat orang, maka seseorang juga makin dianggap religius . Orang yang rajin ke tempat ibadah maka dianggap lebih taat kepada Tuhan daripada yang jarang pergi ke tempat ibadah. Semakin banyak orang membaca kitab suci agamanya maka , dia akan dianggap orang yang religius. Dan orang yang jarang jarang ke tempat ibadah atau jarang membaca kitab suci agamanya maka dianggap kurang religius.

Religiusitas  fisik memang penting sebagai identitas. Penanda atau ciri. Tetapi selain tanda  ada hal  yang lebih penting yaitu isi dari tanda atau ciri itu sendiri. Dan sekarang mulai ada gejala yang mengutamakan bahwa religiusitas bersifat fisik mulai tidak maksimal lagi fungsinya sebagai penanda. Karena banyak tempat tempat ibadah justru jamaahnya kurang. Bangunan fisik tempat ibadahnya besar dan megah tetapi jamaah yang mengisi hanya sedikit. Banyak juga fasilitas pendidikan yang dibangun atas nama agama yang sekarang juga makin berkurang siswanya.  Kapasitas kursinya  besar yang mendaftar sebagai siswanya sedikit.

Penilaian religiusitas dengan disandarkan hal hal yang bersifat fisik tidak sepenuhnya salah. Hanya religiusitas seharusnya tidak hanya dilihat dari satu sisi tersebut. Yaitu sisi yang bisa dilihat saja. Atau sisi yang berupa fisik. Karena ada sisi  religiusitas yang bisa berbentuk hal yang tidak bisa dilihat. Tetapi memiliki manfaat yang juga tidak kalah penting . Lebih dibutuhkan. Dan ukuran religiusitas yang diwakili  dari sebuah daya pikir atau kreativitas berpikir menjadi hal yang sangat sesuai dengan kondisi perkembangan jaman saat ini.  Dengan memaksimalkan daya pikir ini maka akan diketahui sebenarnya apa yang lebih dibutuhkan oleh ummat manusia. Apakah masih berupa bangunan atau kegiatan fisik atau justru harus mulai diganti dengan sesuatu yang baru.

Dengan menilai religiuisitas dari potensi atau daya pikir seseorang maka akan mengembangkan daya kreatif yang sangat besar. Yang akan mengetahui dengan pasti apa yang sebenarnya dibutuhkan  umat  manusia  . Dan juga bisa mengarahkan potensi umat beragama menuju ke hal hal yang bersifat lebih efektif dan efisien.  Tidak ada lagi pengeluaran yang bersifat sia sia karena ketidakmampuan membaca potensi yang ada  di masyarakat. Dalam skala yang lebih besar lagi, maka akan bisa memaksimalkan potensi umat dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tidak terjebak memperbaiki fisik atau bangunan semata tetapi juga orang orang yang akan mengisi fisik atau bangunan itu juga harus disiapkan.

Menjadi tugas umat beragama untuk mengkombinasikan dua hal tersebut secara berimbang. Tidak hanya mengejar hal hal bersifat fisik semata tetapi juga religiusitas yang dilihat dari potensi daya pikir atau kreatifitas . Karena potensi daya pikir atau kreatifitas ini potensi yang tak terbatas. Dan bila dua hal ini bisa berjalan seimbang maka kehidupan yang ideal dan agamis akan makin terlihat dan makin memberi manfaat kepada  semua orang. Sebuah penemuan sebagai hasil kreatifitas atau daya pikir, akan mempertinggi peradaban  dan membuat hidup menjadi lebih mudah. Dan akan memberi amal jariyah ( pahala tak terputus ) yang bernilai lebih besar bagi penemunya. Dan bisa menjangkau lingkup yang lebih luas. Tidak terbatas dimana karya kreatifitas itu diciptakan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun