Mohon tunggu...
Adi Novendra Putra
Adi Novendra Putra Mohon Tunggu... Teknik Informatika 22 - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Teknik Informatika 22 - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

FitSM Sebagai Pelapis Patah Hati Transformasi Digital Publik

7 Mei 2025   22:47 Diperbarui: 7 Mei 2025   22:47 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi FitSM (Sumber: Generated by AI)

FitSM Sebagai Pelapis Patah Hati Transformasi Digital Publik?

Dalam lanskap digital yang semakin menggila, satu hal yang tak pernah lekang oleh waktu adalah janji manis kerangka kerja "ringan" untuk mempercepat perubahan. Artikel "Digital Transformation of Public Sector Governance With IT Service Management A Pilot Study" memilih FitSM sebagai penyelamat PSO di Punjab yang katanya "minim ahli TI" dan "butuh anggaran minimal" . Namun, benarkah FitSM layak mendapat mahkota kilat ini, ataukah kita dihadapkan pada ilusi baru yang menyesatkan?
Peneliti memuji FitSM karena "open source", "gratis", dan "ringan" dibandingkan ITIL atau ISO/IEC 20000 . Klaim ini seperti sirup manis yang menutupi pahitnya realitas: open source tidak selalu berarti mudah dipahami tanpa pendamping ahli, dan "ringan" bisa jadi berarti "setengah matang". Dalam pengalaman lapangan IT Governance, kerangka kerja yang terlalu disederhanakan justru memicu ambiguitas proses dari penentuan level layanan hingga penanganan insiden yang kompleks. Apakah setiap PSO di Punjab benar-benar punya sumber daya untuk menafsirkan "ringan" itu? Atau mereka sekadar menempelkan label "FitSM" sebagai gantungan nama tanpa fondasi tata kelola yang kokoh?
Hasil studi berdasarkan satu organisasi publik dan 12 entitas terafiliasi total 13 unit PSO bukanlah sampel meyakinkan untuk mewakili keragaman birokrasi pemerintahan Puluhan juta penduduk . Bagaimana dengan PSO di perkotaan besar dengan infrastruktur lebih modern? Bagaimana dengan daerah terpencil yang ketiadaan konektivitas internet? Generalisasi dari Punjab ke seluruh dunia sama kelirunya dengan memvonis satu obat mujarab setelah uji coba pada segelintir pasien. Sikap skeptis menuntut kita mempertanyakan: apakah rekomendasi ini akan bertahan ketika dihadapkan dengan birokrasi yang rapuh, politik anggaran, dan budaya kerja pemerintah yang makin kompleks?
Roadmap implementasi FitSM di artikel ini tampil megah dalam tujuh langkah from Service Portfolio Management hingga Continual Service Improvement  tetapi tanpa rincian kuantitatif: berapa lama setiap fase? Berapa biaya sebenarnya? Siapa penanggung jawab utama? Tanpa metrik target dan tolok ukur finansial, roadmap ini terasa ibarat peta harta karun yang tanda "X"nya samar. Tanpa deadline dan KPI, tim TI di PSO akan berlindung di balik jargon "proses berkelanjutan" sambil bunyi ketukan keyboard tidak pernah benar-benar berdampak.
Artikel ini hampir sepenuhnya membahas aspek teknis proses, dokumentasi, konfigurasi namun mengabaikan faktor terpenting: manusia. Seberapa siap pegawai negeri sipil menyongsong perubahan budaya kerja, pelatihan, dan resistensi terhadap inovasi? Bisakah manajemen puncak komitmen tanpa melibatkan agenda politik atau kepentingan individu? Kerangka kerja ITSM mana pun akan percuma jika SDM belum teredukasi, belum termotivasi, atau bahkan menolak perubahan. Mengklaim FitSM "mudah dipahami"  tanpa memeriksa kesiapan budaya organisasi adalah resep kegagalan terjamin.
Mereka menekankan FitSM sebagai "terjangkau" dengan biaya nol lisensi . Padahal, biaya sesungguhnya terletak pada pelatihan, konsultan, dan waktu yang dihabiskan untuk menyelaraskan proses. Organisasi harus mendesain ulang flow kerja, mengintegrasikan tool baru, serta mempersiapkan audit internal semua itu berharga mahal. Layaknya membeli apartemen murah tanpa memperhitungkan biaya perawatan dan iuran bulanan, PSO mungkin terkejut ketika tagihan konsultasi dan pelatihan melonjak tak terduga.
Continual Service Improvement (CSI) menjadi bab penutup yang penuh harapan . Tetapi, pengukuran berkelanjutan memerlukan data riil laporan insiden, tingkat kepuasan masyarakat, downtime sistem, metrik performa jaringan yang sering kali sulit diperoleh di pemerintahan. Jika data tak terstruktur, audit internal akan dipenuhi celah, dan perbaikan berkelanjutan hanya akan berakhir sebagai jargon retoris dalam laporan tahunan. Tanpa kerangka pengumpulan data yang robust, CSI hanyalah janji kosong di meja rapat.
Artikel ini mengandalkan kuesioner dan respons 100% dalam 7 hari , tetapi tak ada pembahasan tentang validitas atau reliabilitas instrumen pengukuran. Tanpa eksperimen kontrol, tanpa grup pembanding, klaim bahwa FitSM lebih unggul tetap berdasar pada opini subjektif bukan bukti objektif. Ilmu pengetahuan menuntut keluasan data dan replikasi studi; tanpa itu, kita berhadapan dengan "pilot study" yang lebih mirip eksperimen laboratorium mini.
Transformasi digital tidak hanya soal teknologi, tetapi tentang layanan publik yang nyata pencetakan eKTP, pembayaran pajak online, respons cepat terhadap keluhan masyarakat. Namun, studi ini tidak mengevaluasi dampak nyata terhadap kepuasan warga atau kecepatan layanan. PSO bisa saja menerapkan FitSM dengan sempurna di atas kertas, tetapi apa gunanya jika portal epelaporan tetap macet, atau pengaduan masyarakat tidak tertangani? Transformasi digital harus diukur dari sudut pandang warga, bukan hanya metrik proses internal.
Artikel ini dengan berani menobatkan FitSM sebagai solusi "onesizefitsall" untuk pemerintahan PSO yang terbatas sumber daya . Namun, di balik klaim "ringan" dan "gratis" tersembunyi kompleksitas budaya, biaya tersembunyi, dan risiko kegagalan metodologis. Transformasi digital publik bukan sekadar mengimplementasikan kerangka kerja ITSM ia menuntut pemberdayaan SDM, komitmen politik, pengukuran berbasis data, dan keberlanjutan layanan nyata bagi masyarakat. Sebelum terbuai janji manis "FitSM-mania", ada baiknya PSO menanyakan: Siapa yang akan memastikan roadmap ini bukan sekadar pajangan di ruang rapat? Dan, yang terpenting, sejauh mana warga merasakan kemudahan layanan publik di ujung jari mereka?

Referensi 

Sarwar, M. I., Abbas, Q., Alyas, T., Alzahrani, A., Alghamdi, T., &Alsaaawy,Y. (2023). DigitalTransformationofPublicSectorGovernanceWithITServiceManagement---APilotStudy. IEEEAccess, 11, 6490--6508. https://doi.org/10.1109/ACCESS.2023.3237550

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun