Ketegangan geopolitik dan perang dagang yang terus memburuk, khususnya antara Amerika Serikat, Tiongkok, dan negara-negara mitra strategis, semakin memperkeruh iklim perdagangan dunia. Di tengah ketidakpastian ini, muncul pertanyaan besar: mampukah ekspor-impor Indonesia bertahan?
Menurut teori small open economy (Obstfeld & Rogoff, 1996), negara dengan ekonomi terbuka seperti Indonesia sangat rentan terhadap gejolak eksternal. Ketergantungan pada pasar global membuat fluktuasi ekspor-impor tidak bisa dihindari. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2024) menunjukkan bahwa total ekspor Indonesia pada kuartal pertama 2024 mengalami penurunan 5,6% secara tahunan (year-on-year), sementara impor turun 4,1%. Ini menandakan tekanan nyata dari ketidakpastian global terhadap neraca perdagangan kita.
Namun, bukan berarti peluang tertutup sepenuhnya. Salah satu kekuatan Indonesia terletak pada sektor komoditas. Produk seperti batu bara, CPO, dan nikel masih menjadi andalan. Bahkan, di tengah perlambatan global, permintaan untuk komoditas mineral strategis tetap tumbuh, didorong oleh transisi energi hijau dunia (IEA, 2024). Diversifikasi pasar tujuan ekspor ke negara-negara non-tradisional seperti India, Afrika, dan Timur Tengah juga menjadi langkah penting yang telah mulai dijalankan pemerintah melalui berbagai perjanjian dagang seperti Indonesia--United Arab Emirates Comprehensive Economic Partnership Agreement (IUAE-CEPA).
Dari sudut teori Trade Diversification, semakin beragam tujuan dan produk ekspor sebuah negara, semakin kecil dampaknya terhadap guncangan eksternal (Cadot et al., 2011). Ini menunjukkan bahwa untuk bertahan, Indonesia tidak cukup hanya mengandalkan komoditas primer, tetapi juga harus mendorong ekspor manufaktur bernilai tambah seperti produk elektronik, otomotif, dan alas kaki.
Selain itu, penting juga memperhatikan faktor ketahanan dalam rantai pasok global. Mengutip World Bank (2024), disrupsi logistik pasca pandemi COVID-19 dan konflik global membuat banyak negara mulai mengedepankan prinsip resilient supply chains. Indonesia harus menangkap peluang ini dengan memperbaiki infrastruktur logistik, memangkas biaya ekspor, dan mempercepat transformasi digital pelabuhan.
Tetapi, tantangan internal tidak kalah besar. Ketergantungan pada pasar tradisional seperti Tiongkok dan Amerika Serikat masih tinggi. Misalnya, pada 2023, sekitar 35% ekspor nonmigas Indonesia masih bergantung pada dua negara tersebut (BPS, 2023). Tanpa diversifikasi yang agresif, risiko perlambatan ekonomi di negara-negara utama ini akan berdampak signifikan pada neraca perdagangan nasional.
Dari sisi impor, penurunan permintaan barang modal dan bahan baku berisiko memperlambat aktivitas industri dalam negeri, yang ujungnya menggerus pertumbuhan ekonomi. Maka, pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara menjaga stabilitas ekspor-impor dan memperkuat substitusi impor strategis di sektor industri prioritas.
Singkatnya, Indonesia bisa bertahan di tengah angin perang dagang global  bahkan tumbuh lebih kuat  asalkan berani mempercepat diversifikasi pasar dan produk, memperbaiki rantai pasok, serta membangun kekuatan industri domestik. Dalam dunia yang semakin tidak pasti, ketangguhan dan kelincahan (resilience and agility) menjadi kunci utama.
Sumber:
BPS. (2023, 2024). Statistik Ekspor dan Impor Indonesia.
Obstfeld, M., & Rogoff, K. (1996). Foundations of International Macroeconomics. MIT Press.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!