Mohon tunggu...
Adi Inggit Handoko
Adi Inggit Handoko Mohon Tunggu... Dosen - Seseorang penghamba media sosial, Hobi denger Radio tertarik dengan isu gender

"Kau Terpelajar, Cobalah Bersetia Pada Kata Hati" (Pram, Dalam Bumi Manusia)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Mempertanyakan Kinerja Jurnalis

6 April 2020   22:40 Diperbarui: 6 April 2020   22:51 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Tulisan ini adalah tulisan Lawas, yang seharusnya dimuat pada media lokal. Tapi Rasanya media Lokal keberatan, karena isinya bisa jadi tidak sesuai dengan harapan redaksi. Tulisan ini mencoba menyikapi bagaimana kinerja Jurnalistik sebelum kasus Corona ramai di Indonesia seperti sekarang ini. 

Dalam beberapa pekan terakhir media Indonesia membuat berita yang menimbulkan kegelisahan masyarakat, mulai dari pemberitaan yang mengharamkan nonton Netflix, hingga menyoal pemberitaan BNPT yang membuka peluang  pekerjakan eks napi terorisme. Masalahnya media yang memberitakan adalah media-media  terverifikasi sebagai media kredibel. Lantas mengapa justru dari media-media inilah sebenarnya berita yang diproduksi mengandung missinformasi. Masalah lain juga timbul dibarengi dengan berita yang sifatnya missinformasi tersebut, masyarakat melalui media sosial marah. Kemarahan masyarakat yang disampaikan melalui media sosial beragam, ada yang menanggapi melalui guyonan satir, bahkan kemarahan masyarakat maya juga diwakili oleh meme yang mereka buat lalu unggah, dan kemarahan yang lain tentunya berujung pada keberatan atas konten yang "dipelintir" oleh pelaku pengumpul berita dilapangan.

REPRODUKSI BERITA DAN BUDAYA SADUR

Ditengah kebingungan masyarakat akan pemberitaan gaduh soal Netflix dan MUI, ada media antimainstream yang mencoba membuat analisa yang memecahkan keresahan masayarakat akan pemberitaan tersebut. Parahnya adalah ketika remotivi.or.id menelusuri tentang misinfomasi yang terjadi ditemukan bahwa media besar sekelas Bisnis.com pada tanggal 22 januari (pukul 18.22) justru adalah media yang pertama kali memberitakan dengan konten yang misinformasi tersebut melalui judul "MUI Siap Keluarkan Fatwa Haram Untuk Platform Netflix". Lalu tiga jam kemudian harian solopos dan harian jogja ikut memberitakan, kondisi ini wajar karena kedua media lokal tersebut merupakan bagian dari Bisnis Indonesia Group. Lantas pun sehari setelahnya tempo.co ikut memberitakan kemudian diikuti oleh liputan6.com dan detik.com (dikutip dari Remotivi.or.id)

Idealnya,produksi berita misinformasi ini seharusnya tidak terjadi paling tidak langkah penting yang dipertimbangkan wartawan adalah tentang narasi yang dibangun melalui kutipan pernyataan dari narasumber. Karena pada kenyataannya melalui kumparan.com narasumber yang disebutkan oleh Bisnis.com justru malah tidak mengetahui apa itu Netflix. Bukan tidak mungkin kinerja wartawan selama dilapangan mengalami sebuah kebuntuan sehingga memungkinkan wartawan mencoba mencari celah melalui berita yang sifatnya sarat dengan "sensasi". Atau memungkinkan bahwa konten berita yang disebarkan sarat dengan kandungan klik byte,  ini seharusnya yang tidak perlu dilakukan oleh wartawan selama membuat berita.

Selain kebuntuan kinerja wartawan saat ini juga dimudahkan dengan adanya berita yang berseliweran melalui akun media sosial yang dimiliki oleh media-media konvensional. Sehingga proses produksi berita menjadi proses reproduksi berita melalui jalan pintas yakni menyadur. Kinerja wartawan jadi dipangkas karena wartawan tidak datang ke lokasi berita, wartawan hanya duduk santai menjadi pengamat konten media berita lalu jika ditemukan berita yang "punya nilai jual" wartawan kemudian melakukan reproduksi berita dengan ditambahi narasi versi dirinya. Selain proses reproduksi berita melalui penyaduran era digital juga memudahkan wartawan dalam membuat berita, terkadang hasil postingan narasumber yang dianggap kredibel dengan gampang dikutip lalu kemudian dinarasikan maka hasilnya adalah produk berita dengan tanpa konfirmasi, alhasil berita yang muncul adalah bias informasi. Bukan tidak boleh, ketika praktik reportase dilakukan dengan cara-cara yang demikian maka dikhawatirkan kwalitas isi media semakin mengalami kemunduran.  Ditengah gempuran informasi berita bohong, berita palsu, dan berita dengan muatan ujaran kebencian melalui media sosial harapan masyarakat pupus ketika menemukan fakta bahwa media konvensional yang seharusnya menjernihkan justru ikut terlibat dalam memperkeruh informasi. Lantas kalau media menganut logika reproduksi berita yang kebenarannya masih abu-abu dimana masyarakat sebaiknya memperoleh berita yang akurat dan kredibel?

 Digital dan Crosscheck

Ada yang menarik ketika membaca kolom tajuk di harian Kompas edisi 8 februari 2020, dalam kutipannya Kompas memuat  bagaimana tantangan jurnalisme dimasa yang akan datang, bahkan tantangan untuk menjadi jurnalis yang multiple media sudah dimulai pada saat ini. Multiple media pada saat ini tidak dapat dihindarkan karena pada dasarnya era media baru memang muncul sejalan dengan berkembangnya teknologi internet. Beberapa hal yang menandakan era media baru ini adalah digitallity, interactive, hypertextual, virtual, networked, dan simulated. Era media baru ini juga bisa dipahami sebagai era yang menjadikan sesuatu ringkas dan praktis. Praktis dan serba cepat ini yang perlu jadi perhatian khusus bagi jurnalis selama menjalankan aktivitas pemberitaan. Tidak gegabah, perlu sensor mandiri, dan yang paling penting crosscheck terhadap informasi yang diperoleh, sehingga memungkinkan bias berita dan misinformasi dapat dihindarkan. Kuncinya adalah akurasi dan verifikasi terhadap konten yang akan di posting sebagai konten pemberitaan.

Selain itu pula era media baru ini menjadikan individu mampu menjadi pewarta secara mandiri. Melalui kemudahan share, melalui media sosial, blog, atau bahkan website yang bisa dikelola secara mandiri menjadikan tantangan tersendiri bagi pelaku jurnalistik. Melalui Kumparan.com dinyatakan Informasi jadi kian berlimpah, di mana-mana, kapan saja, dan dipasok oleh siapa saja. Keberlimpahan informasi tersebut seringkali membingungkan. Hingga sekarang masyarakat digempur oleh berita abal-abal dan hoax menyesatkan. Harusnya ketika semuanya mengarah pada sesuatu yang bersifat digital, ini memudahkan kinerja jurnalisme untuk melakukan mengcrosscheck. Melalui sistem alogaritma dapat dengan mudah melacak konten yang sifatnya berita palsu dan berita bohong. Penelusuran digital ini akurat, karena bisa ditelusuri secara realtime siapa yang pertama kali mengehembuskan berita melalui internet, bahkan secara realtime juga bisa ditelusuri waktu dan tempat pengunggahan.

Jurnalisme Dalam Upaya Meredam Isu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun