"Putus cinta soal biasa, putus rem mati kita"
"Sambil nyetir kita dzikir"
"New Fear The Me Is 3" (Nyupir demi istri)
"Pulang malu gak pulang rindu"
"Berat rindumu tak seberat muatanku"
"Gara-gara sms bojoku minggat"
dan yang paling fenomenal adalah tulisan "kutunggu jandamu".
Dari beberapa contoh di atas, tulisan-tulisan yang pendek tersebut, acapkali membuat kita tersenyum simpul, tertawa, bahkan sampai membenarkan isi tulisannya. Saya tidak akan jauh untuk mengupas tulisan-tulisan tersebut dari kajian pragmatik atau sosiolinguistik bahasa Indonesia. Cukup dari pandangan subjektif saja, tanpa membawa-bawa teori, agar tulisan ini menjadi tetap ringan dan renyah.
Banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari tulisan-tulisan di belakang bak truk tersebut. Walaupun sebagian besar hanya tulisan-tulisan asal-asalan, asal jeplak, asal tulis, asal menghiasi truk, sebagian seakan mewakili keluh kesah sang sopir, sebagian malah "menyentil" si pembaca, tapi beberapa memang ada benarnya, dan membuat kita introspeksi diri.
Seperti ini "putus cinta soal biasa, putus rem mati kita", kalimatnya puitis, berima layaknya puisi, dan memberi banyak pelajaran pada kita (khususnya remaja ya yang masih cinta-cintaan), bahwa soal putus cinta bukan sesuatu yang sampai menyebabkan lupa makan, lupa segalanya sampai inisiatif "beli tiket" kematian lebih dulu. Beda dengan jika mobil yang dikendarai seorang supir remnya putus, mungkin bukan hanya sopir yang melayang, tapi pengendara yang lain.
"Lagu kita masih sama, Indonesia Raya", ini kalimat bagus loh, menyiratkan kebhinnekaan, bahwa kita itu selagi masih ada dan tinggal di bumi Indonesia, suku apapun, kita masih satu bangsa, yang harus senantiasa rukun, damai, tidak saling bermusuhan.