Terlalu banyak rasanya ucapan 'prihatin' yang muncul sekaitan dengan usaha pengembalian fungsi stasiun kereta api di Bukittinggi yang membuat ratusan bangunan warga terpaksa dibongkar oleh PT KAI, Senin (4/12). Membaca pemberitaan mendalam yang ditampilkan KORAN PADANG terbitan Selasa-Rabu (5-6/12), muncul beragam keprihatinan ke permukaan.
Prihatin Pertama
Ternyata PT KAI sudah memberi aba-aba kepada penyewa agar mengosongkan lokasi sejak Bulan Februari 2017, atau sekitar 10 bulan lalu. Namun, aba-aba itu tidak digubris. Beragam pertemuan dilakukan, namun tidak ada tanda-tanda kesediaan warga untuk meninggalkan lokasi.
Prihatin Kedua
Akibat pembongkaran paksa, bangunan rumah dan isinya porak-poranda. Jelas, kerugian besar dialami penyewa.
Prihatin Ketiga
Suasana bongkar paksa itu memang menarik untuk diabadikan sebagai karya foto jurnalistik. Namun, dalam peliputan, wartawan diimbau polisi untuk meninggalkan lokasi. Bisa jadi, imbauan itu juga untuk keselamatan wartawan agar tidak terancam oleh reruntuhan bangunan yang dihantam alat berat. Jurnalis wajib mencari moment terbaik, namun keselamatan tak boleh diabaikan.
Prihatin Keempat
Upaya mediasi yang berlangsung dalam waktu lama, semestinya masing-masing pihak menaruh perhatian utama dan mencari kesepahaman bersama terhadap poin-poin dalam perjanjian sewa dengan PT KAI, khususnya tentang ‘hak dan kewajiban penyewa’ yang (mungkin) tercantum dalam perjanjian itu.
Prihatin Kelima
Dalam upaya mediasi, tidak begitu kelihatan usaha mencari lokasi alternatif bagi penyewa tanah PT KAI jika pengosongan lahan benar-benar terjadi, dan pada kenyataannya, hal itu memang akhirnya terjadi juga.