Mohon tunggu...
Adia Puja
Adia Puja Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Kriminal

Penikmat teh juga susu. http://daiwisampad.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fenomena Foto Bareng Selebriti

12 November 2016   01:47 Diperbarui: 12 November 2016   02:29 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: batam.tribunnews.com

Kalau ada yang belum pernah saya lakukan di dunia ini, adalah; tidur sambil melek dan foto bareng artis. Yang pertama jelas hampir mustahil dilakukan. Sedangkan yang kedua, saya memang tidak ingin melakukannya.

Kemarin-kemarin, ketika masih bekerja di stasiun televisi, banyak artis yang berseliweran di depan hidung saya. Sekadar untuk syuting, atau menjadi narasumber. Yang cantik, yang ganteng, yang baik, yang jahat, yang mancung, yang pesek, yang digoyang yang, semua ada. Tapi tidak ada satupun yang berhasil menyentuh syaraf hasrat-untuk-foto-bareng-artis saya.

Sebetulnya bukan hanya artis. Kebetulan, stasiun televisi yang pernah menggaji saya sekian tahun itu merupakan lumbung berita. Otomatis, yang diundang menjadi narasumber bisa dari berbagai kalangan; politikus, aktivis, ekonom, pengamat, pebisnis, atlet, apapun. Bahkan bule. Entahlah bule tersebut dengan kredibilitas sekelas narasumber. Atau hanya sekadar bule. Pokoknya, bule itu istimewa ‘kan?

Kembali lagi ke perihal foto bareng artis. Dalam hal ini, artis yang saya maksud adalah orang terkenal. Jadi, selanjutnya saya akan menyebutnya dengan “selebriti”. Banyak orang termasuk rekan-rekan kerja saya yang memburu hal tersebut. Setiap kali menemui selebriti, kamera ponsel sudah dalam posisi siap. Kemudian buru-buru berdiri di samping si-idola. Tidak lupa juga mengangkat jempol atau isyarat jari “peace”. Senyum tigajari dipasang. Kemudian jepret! Sekali lagi, yang tadi sedikit buram. Jepret! Nah.. Coba liat, coba liat. Yaah ko gue nya item sih?!

Melihat fenomena tersebut, saya jadi geli sekaligus heran sendiri. Karena saya tidak pernah menemukan esensi atau manfaat foto bareng selebriti. Apakah ketika berfoto dengan orang terkenal, harkat dan derajat seseorang menjadi naik? Apakah ada kebanggan tersendiri bisa berfoto dengan orang terkenal? Apakah orang lain akan berdecak kagum melihat foto kita bersama orang terkenal? Apakah orang lain akan iri melihat koneksi kita yang begitu kuat dengan orang terkenal? Apakah bumi itu datar?

Bukannya tidak ingin. Terkadang ada hasrat yang muncul ketika sedang melamun menatap bintang; kayaknya keren juga kalau bisa foto bareng selebriti. Lalu beberapa wajah orang-orang yang saya idolakan berseliweran. Wajah John Lennon muncul; mustahil. Kemudian berganti lagi wajah Pram; wah ini juga mustahil. Lalu wajah berganti menjadi Gandhi; mustahil juga. Lantas saya mencari lagi wajah idola saya yang belum mati. Ah Coldplay! Masih mungkin dilakukan meski hampir mustahil. Semenjak itu, saya memutuskan ingin berfoto dengan Coldplay. Selain mereka, saya akan berpikir dua kali.

Berfoto dengan selebriti Indonesia tidak pernah terpikir oleh saya. Bertemu dengan artis Indonesia secantik atau seganteng apapun, bagi saya sama saja. Tidak lantas membuat rasa bangga saya melambung karena bertemu mereka. Atau menaikkan harga diri dan prestise. Terlebih berfoto dengan politikus Indonesia. Saya ulangi; politikus Indonesia. Alamak. Lebih baik saya berfoto dengan Miyabi. Lumayan untuk bahan..

Fenomena ini semakin diperkuat dengan semakin akrabnya masyarakat urban dengan media sosial. Demi mendompleng jumlah like dan follower,berfoto dengan selebriti seolah menjadi hal yang perlu. Terlebih jika untuk dipamerkan pada calon mertua.

“Om. Tante. Lihat saya foto bareng Ultraman. Nah, yang ini dengan Robocop.”

Ketika masih bekerja sebagai kuli tinta beberapa tahun silam, sebenarnya fenomena ini telah mengganggu pikiran saya. Banyak teman-teman jurnalis yang ngototingin berfoto dengan narasumber. Hingga sekarang, saya masih banyak menemui teman-teman tersebut yang doyan berfoto dengan narasumber. Padahal, ketika masih kuliah, saya diajarkan bahwa antara jurnalis dengan narasumber harus memiliki jarak. Sebagai tembok pembatas antara objektifitas dan subjektifitas dalam membuat berita juga dari berbagai kepentingan-kepentingan narasumber. Kedekatan antara narasumber—siapapun itu—dengan wartawan harus dibatas dari hal sekecil apapun. Bukan muhrim. Harom!

Namun sepertinya dosen saya ketika kuliah, salah memberkan materi. Karena pada nyatanya, fenomena tersebut masih kerap dilakukan justru oleh mereka yang mengaku jurnalis di bio instagram-nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun