Sejak kecil, anak-anak sudah dibiasakan untuk berpuasa di bulan Ramadan. Karena ada kebiasaan ini, tak ada masalah ketika Ramadan datang dari tahun ke tahun.
Agaknya semua orang Islam mampu berpuasa penuh sebulan lamanya. Kecuali mungkin mereka yang bekerja mengandalkan fisik.Â
Mungkin ada di antara mereka yang tak puasa. Akan tetapi, saya meyakini semua umat Islam sanggup puasa. Tentu Allah swt tidak akan memberikan ibadah yang memberatkan hambanya.
Oleh karena itu, konteks berpuasa dalam hal fisik, saya kira tak begitu istimewa. Maksudnya, siapa pun umat Islam, pasti bisa puasa. Entah sejak anak-anak sampai lansia. Semua bisa dan sanggup puasa.
Karena itu juga, bagi saya, memaknai puasa itu tidak sebatas urusan menahan lapar dan dahaga serta seksualitas. Namun, lebih daripada itu.
Saat puasa itulah kita bisa berlatih untuk lebih sensitif kepada mereka yang papa. Coba bayangkan, sudahlah puasa, duafa masih bekerja semampu mereka. Mereka juga mesti siapkan makanan berbuka untuk diri dan keluarganya.
Karena elemen masyarakat tak mampu di kita masih banyak, itulah esensi filantropi atau kedermawanan sosial semakin menemukan momentumnya. Bulan puasa adalah masa yang paling tepat untuk menumbuhkan kesadaran kita terhadap filantropi.
Adanya kesadaran untuk berbagi rezeki. Adanya kepahaman untuk saling membantu. Adanya pemikiran untuk berbuat sosial untuk orang lain dan lain sebagainya.
Indonesia memang menjadi salah satu negara yang warganya gemar berfilantropi. Lihat saja betapa di banyak daerah bencana, bantuan kepada korban deras mengucur.Â
Ini membuktikan tingkat kegotongroyongan publik Indonesia masih mengakar. Inilah esensi dari gotong royong khas Indonesia.
Karena itu, Ramadan ini menjadi pelajaran penting buat kita untuk menjaga iklim berderma. Kepada siapa saja.Â