Mohon tunggu...
Adhi Cahyono
Adhi Cahyono Mohon Tunggu... -

dibesarkan di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, dimana hampir semua Jenderal di Republik ini pernah belajar dan menghirup udara segarnya. Sempat merasakan dingin dan sejuknya udara kota Bandung, dan sekarang menetap di Bekasi. Ngeblog di Kompasiana dengan niat dan tujuan sederhana, belajar menulis. Itu saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menerawang Akar Masalah dari Kekerasan & Tragedi Koja

18 April 2010   12:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:44 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"The Roots of Violence: Wealth without Work, Pleasure without Conscience, Knowledge without Character, Commerce without Morality, Science without Humanity, Worship without Sacrifice, Politics without Principles” - Mahatma Gandhi.

Pak SBY, bagaimana hasil peninjauan ke Bali-nya Pak?, saya yakin setelah Bapak berkunjung dan melihat2 situasi Hotel Ayana Bali, ditambah penjelasan yang diberikan baik oleh Gubernur Bali maupun General Manager hotel tersebut, pastinya tidak ada hal serius yang patut dikhawatirkan. Toh kalaupun ada, waktu setahun pastilah cukup untuk membenahinya, dan bukankah KTT ASEAN yang ke-11 baru akan diselenggarakan tahun 2011 nanti?.

Pak SBY, minggu ini, diluar keinginan kita, kita isi dengan kesedihan.Kesedihan ini, tentu saja terkait dengan tragedi Koja. Saya, kurang lebihnya, bisa merasakan kesedihan tersebut dari ekspresi Bapak ketika menyampaikan konferensi pers di malam harinya. Saya sependapat dengan Bapak, bahwa apa yang terjadi di Koja harus dihentikan dan upaya-upaya yang lebih mengedepankan dialog harus lebih diutamakan. Penjelasan dan sosialisasi harus diberikan secara jelas dan intensif, untuk menghindari salah tafsir. Komunikasi dua arah menjadi kunci penyelesaian masalah.

Photo maupun Video yang ditampilkan oleh media, berbicara banyak, lebih dari cukup bahkan. Photo dan Video itu harus dengan kepiluan kita saksikan, salah satu alasannya karena, kekerasan itu dilakukan oleh kedua belah pihak. Kenapa bisa demikian? dan apa yang menjadi akar dari kekerasan semacam itu?. Kedua pertanyaan tersebut, menjadi sangat penting untuk dijawab, terlebih jika kita menyimak kesembilan poin kesepakatan hasil mediasi, sehari sesudahnya. Kesemuanya, bukanlah sesuatu yang susah dan rumit untuk disepakati jauh2 hari dan bukan setelah tiga manusia menjadi korban, beberapa puluh kendaraan bermotor menjadi arang, dan kerugian2 lainnya, harus terjadi dan kita alami.

Saya tak bisa menjawab pertanyaan2 itu secara pasti. Sampai suatu ketika, teman saya, dalam status facebooknya, mengutip apa yang pernah dinyatakan oleh Mahatma Gandhi. Mungkin ini jawabnya, pikir saya ketika itu. Tapi apakah semua faktor yang disinggung oleh Gandhi telah terjadi dan menjadi bagian dari keseharian kita, sebagai pribadi, anggota masyarakat, anak bangsa dan bahkan oleh pejabat dan pemimpin2 kita?, begitu tanya saya ketika itu Pak.

Ini tawaran dan sekaligus penerawangan saya, diiringi harapan semoga ada manfaatnya.

“Wealth without Work”

Budaya instan kurang lebihnya. Fenomena Gayus mungkin tepat dijadikan contoh dalam konteks ini Pak. Bagaimana tidak?, sementara orang harus bekerja keras, siang dan malam, terus menerus, seperti yang Bapak lakukan sebagai Presiden, untuk mengumpulkan rupiah demi rupiah, bahkan terkadang “kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala”, untuk menghidupi anak istri, tidak berlaku bagi Gayus Pak. Bahkan duit yang ada di rekeningnya pun lebih dari total kekayaan Bapak yang tujuh milyar rupiah itu.

“Pleasure without Conscience”

Saya memahami dan meletakkan ini sebagai ter-erosinya kepekaan sosial Pak. Bagaimana sebagian dari kita dapat hidup bersenang-senang sementara yang lainnya bersusah payah untuk hanya sekedar bertahan hidup. Sesuatu yang tak asing bagi kita kan Pak? Ini tak ada hubungannya dengan mobil dinas menteri, pesawat dan pagar istana lho Pak, bukankah ketiganya sudah dianggarkan dalam APBN yang merupakan wujud kesepakatan Pemerintah dan Dewan yang mulia?.

“Knowledge without Character”

Saran saya, khusus untuk aspek yang satu ini adalah memahami dan meletakkannya sebagai pengetahuan yang nil budi pekerti Pak, dan kasus mafia hukum terasa masih kontekstual untuk dijadikan contoh yang mewakili faktor ini. Pemahaman dan ilmu tentang hukum, justru dipergunakan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan nil budi pekerti. Hakim yang menangani kasus Gayus, dikabarkan mengakui menerima 50 juta terkait dengan kasus tersebut, untuk bekal umroh menurut pengakuannya.

“Commerce without Morality”

Keberadaan KPPU haruslah kita syukuri dan apresiasi. Walaupun demikian, penguatan institusional, profesionalitas dan independensi tetap harus kita dorong dan tingkatkan lagi. Bukan sebuah usaha yang mudah, layaknya membalikkan telapak tangan memang, tetaplah harus disyukuri bahwa kita sudah mempunyai pemahaman tentang pentingnya iklim usaha yang kondusif bagi semua pelaku ekonomi dan tetap terjaminnya hak-hak konsumen. Sungguh sangat disayangkan, pemahaman dan usaha2 tersebut sempat tercoret dengan ditanganinya sebuah kasus dugaan penyuapan yang melibatkan anggota KPPU oleh KPK tempo hari.

Dalam keseharian kita, siapa yang menjamin bahwa semua timbangan yang dipergunakan baik di pasar tradisional dan modern, dengan tepat dan secara berkala ditera?.

“Science without Humanity”

Salah satu tersangka mafia kasus pajak adalah seorang doktor dan ternyata desertasinya berisi tentang bagaimana upaya-upaya mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.

Sebuah ironi kan Pak?

“Worship without Sacrifice”

Berangkat menunaikan ibadah umroh tentu saja baik, tapi bagaimana kita mengartikan dan memahami arti ibadah itu jika dibekali dengan uang 50 juta tadi?. Sementara sebagian jemaah haji kita, berangkat ke sana dengan menjual sisa tanah mereka dan pulang tak berharta.

“Politics without Principles”

Faktor ini yang ini ni Pak, yang juga sedang hangat2nya dibicarakan oleh masyarakat. Apakah patut seorang pezina disertai bukti videonya, menjadi calon bupati atau wakil bupati?. Tak adakah wanita2 yang lebih terhormat, berpendidikan, bermoral dan mempunyai kepedulian yang sama terhadap kehidupan dan hajat hidup rakyat di kabupaten tersebut?.

Sebenarnya, jikalau partai2 politik juga dengan dingin dan tegas menanggapi hasrat berkuasa calon2 seperti ini, masalah akan dengan mudah diselesaikan dan tak perlu menteri dalam negeri harus mengambil inisaitif untuk melakukan revisi terhadap undang-undang pemilihan kepala daerah. Sayangnya, partai2 politik nampak gamang dalam menyikapinya. Menjadi mudah dipahami dan dimengerti jikalau ada pandangan bahwa kehidupan politik di negara ini bersifat transaksional.

Boleh jadi ini yang menjadi faktor utama kenapa wanita2 yang lebih terhormat, berpendidikan, bermoral dan mempunyai kepedulian terhadap kehidupan dan hajat hidup rakyat di kabupaten tersebut, menjadi enggan untuk tampil di depan panggung pilkada,….ongkosnya itu lho Pak.

Akan lebih mengkhawatirkan lagi, jikalau ternyata, memang seperti itu lah gambaran selera masyarakat kita. Apalagi jika dikaitkan dengan hukum ekonomi yang menyatakan, selama ada permintaan maka penawaran pun akan selalu ada. Ah tidak menurut saya, paling tidak itu doa saya Pak.

Oleh karenanya, saya senang mendengar apa yang Bapak sampaikan ketika membuka World Movement for Democracy di Hotel Shangri-La, Senin, 12 April kemarin, bahwa politik uang hanya akan menghasilkan pemimpin yang bebal, melayani yang membayar dan menngeyampingkan kepentingan publik.

Demikianlah hasil penerawangan saya Pak, namanya juga penerawangan, tentu saja masih jauh dari sempurna, ada kekeliruan dan oversimplikfikasi di sana sini. Namun saya yakin, saya tidak sendirian dengan keresahan-keresahan ini Pak.

Salam Indonesia Raya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun