Belum kelar urusan covid-19 yang dikategorikan sebagai bencana non alam melanda indonesia, dipenghujung tahun 2020 publik semakin banyak di perlihatkan dengan praktik-praktik penyimpangan para pejabat yang akibat dan efeknya tak kalah parah dengan yang ditimbulkan oleh bencana itu sendiri.
Mulai dari praktik dinamika pembentukan perundang-undangan omnibuslaw dan UU lainnya yang menuai kritik sana-sini, hingga praktik dugaan tindak pidana korupsi oleh ex mentri Sosial dan ex mentri KKP, sampai dengan baru-baru ini kebijakan pemerintah yang disampaikan oleh MENKOPOLHUKAM yang memutuskan larangan kegiatan, penggunaan simbol dan atribut serta penghentian kegiatan Fron Pembela Islam (FPI) melalui surat keputusan bersama (SKB) MENDAGRI, MENKUMHAM, MENKOMINFO, JAKSA AGUNG, KAPOLRI dan KEPALA BNPT.
Pelarangan kegiatan ataupum Pembubaran ormas di indonesia bukanlah menjadi hal yang baru, setelah sebelumnya ormas HTI juga turut dibubarkan. Tentu yang menjadi topik menarik untuk didiskusikan adalah mengenai mekanisme pembubaran ormas di indonesia.
Indonesia sebagai negara hukum, membawa konsekuensi bahwa selain terdapat pembatasan kekuasaan negara, juga semua alat-alat perlengkapan negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah dalam tindakannya baik terhadap warga negara maupun dalam saling berhubungan masing-masing tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan segala peraturan hukum yang berlaku.
Sebelumnya, ketentuan mengenai ormas diatur dalam UU No 17 tahun 2013 tentang organisasi masyarakat (ormas). Namun dalam pelaksanaannya, pemerintah menganggap ketentuan dalam UU No 17 tahun 2013 tentang organisasi masyarakat (ormas) belum mengatur secara komprehensif mengenai keormasan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga terjadi kekosongan hukum dalam hal penerapan sanksi yang efektif.
Alasan inilah yang kemudian membuat pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 tentang perubahan atas UU No 17 tahun 2013 tentang organisasi masyarakat (ormas) yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang (UU Ormas).
Mekanisme yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 ini berbeda dengan aturan yang termaktub dalam UU No 17 tahun 2013 yang selama ini menjadi landasan yuridis tentang ormas.
Dalam UU No 17 tahun 2013, ketentuan sanksi bagi ormas yang melanggar dijelaskan secara detail dari Pasal 60 hingga Pasal 82. Namun, ketentuan tersebut dapat disederhanakan menjadi beberapa tahapan, sebelum ormas yang melanggar itu dapat dibubarkan. Misalnya, ormas yang melanggar ketentuan dapat dijatuhi sanksi administratif.
Jika ormas yang dijatuhi sanksi administratif atau sanksi tertulis tidak menghiraukannya hingga tiga kali, maka pemerintah bisa menghentikan sementara kegiatan ormas yang dinilai melanggar itu. Apabila sanksi tersebut juga belum dipatuhi, pemerintah bisa menjatuhkan sanksi pencabutan status badan hukum.
Namun, ada catatan yang harus digarisbawahi saat sanksi pencabutan status badan hukum ini diambil, yaitu: permohonan pembubaran ormas berbadan hukum diajukan ke pengadilan negeri oleh kejaksaan hanya atas permintaan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.